Jennie berjalan di atas anakan tangga, dia menggunakan jaket berwarna abu-abu dengan celana jins hitam dan dipadukan dengan sepatu kets hitam-putih juga memakai kupluk berwarna senada jaketnya.
Tampak terburu-buru bahkan tidak ada niatan untuk menyapa papanya yang sedang ngopi di ruang tamu. Gadis itu cuek saja saat dilirik sang papa. Sebenarnya dia berharap papanya menegurnya atau sekedar bertanya.
Selangkah lagi dirinya akan keluar rumah, tetapi malah berhenti. Gadis itu menghela napas, dia berbalik badan dan dilihatnya sang papa seperti tidak peduli sama sekali.
"Pah?"
Gibran menoleh sekilas lalu kembali fokus menatap layar leptop, hal itu membuat Jennie kecewa.
"Maafin, Jennie ...," lirih Jennie seraya menatap Gibran dengan mata yang berkaca-kaca.
Gibran tidak merespons, dia tetap sibuk dengan leptop.
Oke, tidak ada yang mau mencegahnya pergi. Apakah papanya marah padanya? Tunggu dulu, seharusnya Jennie yang marah pada Gibran! Musuhnya yang katanya datang karena di masa lalu mereka khilaf, tetapi nyatanya hanya menambah masalah dalam keluarganya dan itu semua gara-gara Gibran!
Coba saja Gibran langsung mengusir mereka, pastilah ini semua tidak terjadi!
Jennie mengepalkan tangan, dia memejamkan mata agar dapat mengendalikan emosi. "Jennie ..., benci, Papah ...."
Gibran tersenyum tipis, dia menoleh dan mendapati putrinya sudah pergi. Dia begitu sedih ketika merasakan putrinya sendiri membencinya, padahal ia hanya ingin putrinya itu mendapatkan yang terbaik juga terdidik.
"Maafin papa yang egois ini, ya, Nak ...."
Fatimah yang baru keluar dari kamar Jennie dan tergopoh-gopoh turun dari tangga berteriak, "Pah! Jennie, enggak ada di kamar! Jenni--"
"Dia pergi," potong Gibran.
"Ke mana? Kok enggak dicegat? Kalo misalkan dia kabur gimana? Dompetnya enggak ada, Pah! Gimana kalo dia pergi jauh? Gimana, Pah?" Fatimah khawatir, dia berjalan menuju ke pintu hendak mengejar anaknya itu.
"Udah, Bund! Biarkan saja! Dia butuh waktu!" Gibran datang mencegat istrinya, dia memeluk Fatimah yang menangis mencemaskan Jennie.
"Ya Allah, Pah, kasihan, Jennie ...."
"Dia sudah besar, Bun. Sudah siap menghadapi risiko apa pun."
***
Jennie menendang krikil di jalan dengan kesal. Dia begitu marah, kecewa dan sangat kesal!
Gadis itu tidak bisa mengendarai mobil, handphone-nya saja ia banting tadi hingga pecah dan rusak. Jadi dia memutuskan untuk berjalan kaki.
Ke mana dia akan pergi? Entahlah, dia saja tidak tahu di mana tempat yang cocok untuk melupakan masalahnya.
Gadis itu memasukkan kedua tangan ke saku jaket, berjalan di bawah sinar matahari yang mulai menampakkan jingga, lumayan juga. Banyak orang mengendarai sepeda di sore hari ini, juga terdengar sorak-sorai anak-anak di taman kompleks.
Jennie pun memutuskan pergi ke taman, dia duduk di kursi dekat pohon rambutan, sendirian. Memandang anak-anak yang tertawa gembira di sana.
Melihat itu membuat Jennie menerbitkan senyum kecil, bukan senyum bahagia melainkan senyum miris. Dia jadi teringat masa kecilnya bersama ... Rayan.
Waktu itu mereka begitu bahagia, bercanda bersama dan menangis bersama. Dia rindu masa kecilnya.
Jennie memijit pelipis, pening mulai menyerang secara perlahan.
"Lo kenapa?"
Jennie mendongak dan mendapati teman sekelasnya itu berdiri. Cowok itu mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna hitam dan celana pendek berwarna senada juga sandal jepit.
Jennie menghela napas, membiarkan cowok itu duduk di sampingnya.
"Galau," jawab Jennie tanpa mengalihkan pandangan dari anak-anak itu.
Cowok itu ber'oh ria, dia menyender. "Pasti mikirin do'i, ya?"
Jennie menoleh. "Enggak usah sok tahu!"
"Atau masalah keluarga?"
Jennie berdecak. "Enggak usah ngurusin masalah orang lain karena gue yakin masalah hidup lo aja susah diurusin!" Kemudian dia berdiri dan hendak pergi, tetapi tangannya dicekal oleh cowok itu.
"Setidaknya dengan mencurahkan masalah itu dapat mengurangi beban hidup lo."
"Kalo lo cuma mau nambah masalah gue mending lo pulang aja, deh, Bima."
Bima berdiri, dia melepas cekalan. "Kalo gue bisa bikin lo lupain masalah lo, gimana? Masih mau pergi?"
Jennie mengangkat satu alis. "Caranya?"
Bima tersenyum smirk. "Mau enggak lo gue kasih tau?"
"Ck! Enggak usah basa-basi, langsung gas aja!"
"Ikut gue, lo bakalan tau."
***
Detuman musik dan kerlap-kerlip lampu memenuhi ruangan yang penuh sesak orang-orang, juga bau alkohol seakan menjadi pengharum ruangan itu.
Seumur hidupnya, Jennie tidak pernah pergi ke sini, ia hanya tahu namanya, tetapi tidak tahu isinya.
Kali pertama ia masuk, suasananya begitu asing, sejak tadi keringat dingin keluar dengan mudahnya. Matanya menyapu ke mana-mana, di sini banyak wanita yang memakai pakain kurang bahan.
Bukan hanya muda-mudi yang mengisi ruangan itu, tetapi juga pria baya dan setengah baya pun ada di sini.
Jennie menarik ujung baju yang dikenakan oleh Bima sejak awal masuk tadi, dia takut nyasar jika tidak dituntun oleh cowok itu.
Jennie menatap tajam cowok yang berada di sudut ruangan karena risih sejak tadi ditatap olehnya. Cowok dengan rambut ikal berantakan juga segelas wine di tangan kanan itu tampak tertarik pada Jennie.
Bima membawa Jennie ke meja bar, dia memesan vodka dua gelas. Jennie mengernyitkan dahi, vodka? Minuman jenis apakah itu? Jennie tidak pernah mendengarnya.
Gelas kaca ukuran mini tersodor di depannya, Jennie menoleh ke Bima yang begitu menikmati minuman. Seakan tahu keraguan Jennie, Bima tersenyum.
"Minum aja, lo bakal lupa sama masalah hidup lo."
Jennie menatap ragu-ragu, kemudian mengangkat gelas itu dan mulai meneguk minumannya.
Satu tegukan, dua tegukan dan ia ketagihan. "Gue mau lagi!"
Cowok yang sejak tadi menatap Jennie pun mengirim pesan pada seseorang.
[ Ray, calon tunangan lo
ada di club sama cowok. ]***
Jangan lupa add ke library ya, Sobat :>
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...