"Bunda, apa bener, Raden Al Surya, saudara tiri, Jennie?"
Fatimah yang sedang melipat pakaian dalam itu terdiam, menoleh ke pintu kamar dan mendapati putrinya berdiri. "Sini, Sayang, sini bunda ceritain."
Jennie menghampiri bundanya kemudian duduk di sampingnya. "Apa bener, Bund?"
Fatimah tersenyum tipis. "Jadi ... kamu belum tahu?"
Jennie mengernyitkan dahi. Maksudnya apa? Apakah ada yang pernah memberitahukannya sebelumnya? "Enggak. Kenapa dirahasiain, sih?"
Fatimah mengambil sebuah foto berukuran 3 × 4 berwajah sepasang pengantin lalu memberikannya pada Jennie.
Jennie menerima foto itu dengan kebingungan, dia menatap sang bunda. "Foto ini ...."
"Ini foto ayah kamu sama ibu tiri kamu."
Jennie kembali menunduk dan memperhatikan lebih cermat foto yang sudah kusam tersebut. "Ibunya, Raden?"
"Iya. Jadi gini ceritanya .... Dulu sebelum menikah dengan bunda, papamu menikah dengan seorang wanita yang bernama, Sarah.
"Papamu menikahi dirinya karena kasihan, Sarah, anak yatim-piyatu, hidup di jalanan. Dulu papamu masih kuliah, tetapi dia nekat menikahi, Sarah dan bahkan berani melawan kakekmu.
"Sebulan berlalu, pernikahan mereka tidak baik, Sarah, sering membangkang, selalu melakukan sesukanya. Tanpa sadar, dulu papamu begitu marah pada, Sarah, dia pergi ke rumah nenekmu dan meninggalkan, Sarah, di apartemen saat itu."
Fatimah menjeda dengan satu tarikan napas dalam, Jennie mendengarkan dengan khusyuk. Kemudian Fatimah melanjutkan.
"Papamu saat pulang ke rumahnya, dia dimarah oleh kakekmu karena sudah meninggalkan, Sarah. Akhirnya papamu kembali ke apartemen, tetapi tidak menemukan, Sarah, di sana.
"Dia begitu panik, bahkan sampai mengelilingi kompleks. Saat pulang kembali ke apartemen, ayahmu dikejutkan dengan penampilan, Sarah, yang awut-awutan dan bau alkohol.
"Mereka bertengkar, lalu, Sarah, pergi lagi dan tidak pulang selama sebulan. Saat pulang, dirinya disambut tidak baik oleh Gibran.
"Beberapa bulan berlalu, Sarah, jarang pulang bahkan tidak pernah sekalipun tidur seranjang dengan suaminya. Hingga, Gibran, menyadari sesuatu ... perut, Sarah, membesar."
Fatimah memejamkan mata, Jennie mulai mencerna semua cerita dari bundanya. "Jadi ... Sarah, hamil?" tanya Jennie.
Fatimah membuka mata, dia mengangguk. Jennie mengernyitkan dahi, apakah saat malam pertama Gibran menyetubuhinya? Jika tidak, sudah dipastikan yang ada di kandungan Sarah bukanlah anak kandung papanya.
"Itu bukan anak, Gibran. Kemudian, Gibran, lelah dengan kelakuan istrinya itu. Dia memutuskan untuk menceraikannya secara baik-baik, tapi, Gibran, tidak tahu kalau istrinya sedang hamil. Dia hanya tahu bahwa perut istrinya sedikit membesar.
"Sarah, juga tidak memberitahu perihal kehamilannya. Bahkan saat diceraikan, ia tidak mengapa. Katanya dia akan pergi ke rumah mamanya.
"Ternyata, Sarah, berbohong. Tidak pernah sekali, Sarah, bercerita perihal keluarganya pada, Gibran. Sarah, hanya bilang, ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, makannya, Gibran, kasihan dan menikahinya."
Jennie mulai mengerti, pantas saja Raden berkata akan balas dendam dengannya. Jadi, apakah cowok itu iri padanya? Karena Raden tidak pernah mendapatkan perhatian dari ayahnya?
"Saat melahirkan, Sarah, meninggal, dia kecelakaan saat kabur dari rumah sakit. Gibran, tahu kabar ini dari ibunya, Sarah, yang mendatanginya.
"Awalnya, Gibran, syok. Dia tidak tahu-menahu akan semua ini. Selama beberapa tahun, dia bahkan tidak tahu kalau anak, Sarah, telah diasuh dan dibesarkan oleh ibunya, Sarah." Fatimah mengelus puncak kepala putrinya.
Jennie memeluk sang bunda. "Papa, baik banget, tapi si Sarah, itu enggak tahu diri banget!" ucapnya agak jengkel. Sudah dikasih hati malah minta jantung.
"Hush! Enggak boleh memaki orang yang telah tiada. Patutnya kamu bersyukur dan harusnya mematuhi kata-kata papamu karena perbuatan kamu waktu datangnya, Raden, ke sini itu salah."
Jennie meringis, merasa bersalah. Dia menyengir. "Ya, maaf."
***
Pagi ini waktunya Jennie bergegas ke sekolah, hampir saja ia kesiangan. Dia membuka pintu kamar dan langsung terperanjat kaget saat wajah Rayan menyambutnya.
Rayan menyengir. "Yuk, berangkat! Entar telat, gue enggak mau guru BK ngamuk."
Jennie menatap sinis. Dia saja belum sarapan sudah disuruh berangkat. "Enggak ada akhlak lo!"
Rayan menggidikkan bahu tidak peduli. "Yang penting ganteng."
"Bodo amat!" Jennie menerobos Rayan yang menghalangi jalannya kemudian turun melalui tangga diikuti cowok itu.
Jennie berjalan menuju dapur, mengambil bekal yang berada di atas meja lalu berteriak, "Bunda! Jennie, berangkat! Assalamualaikum!"
Bundanya yang berada di taman belakang menyahut, "Iya wa'alaikumsalam! Hati-hati!"
Jennie mendengus saat Rayan diam saja di ambang pintu dapur. "Nunggu apa lagi? Buruan!"
Rayan melirik bekal yang dipegang Jennie. "Bekal itu yakin buat lo?"
Jennie berdecak. "Yaiyalah! Udah buruan!" Gadis itu kemudian menerobos Rayan lagi membuat salah satu bahu mereka bersenggolan.
"Santai dong, gue goes juga entar lo!" kata Rayan seraya mengguyar rambut ke samping sehingga rambutnya terlihat klimis.
"Bodo amat! Makannya lo jangan ngalangin jalan gue dong!" kata Jennie sambil berjalan menuju pintu.
Rayan mengikutinya dari belakang. "Ohya, lo inget kejadian semalam?" tanyanya hati-hati.
Jennie mengernyitkan dahi, dia menoleh ke Rayan yang kini jalan beriringan bersamanya. "Ohya, seinget gue ... gue di club sama, Bima. Nah! Siapa yang bawa gue pulang?"
Rayan berkedip. "Lo cuma inget itu doang?"
Jennie mengangguk. Rayan ikut mengangguk-angguk kemudian berdecak. "Lo kebanyakan minum, jadinya lupa ingatan."
"Ha, maksud lo?" Jennie berhenti melangkah, dia menatap tajam Rayan. Cowok itu menyengir kemudian mendorong kedua bahu Jennie untuk kembali melangkah.
"Enggak ada. Lupain aja!"
"Lepas! Risih gue!"
"Dih, tapi peluk-pelukan sama cowok enggak risih lo!" sindir Rayan mengingat saat Jennie bersama Dadang di bangunan tua itu.
"Lain cerita, Men!" Jennie memasuki mobil diikuti Rayan.
"Ohya, gue tahu lo udah jadian sama, si Ojol."
Jennie yang sedang memakai sabuk pengaman langsung menoleh terkejut. Bagaimana bisa Rayan tahu? Bukankah dia merahasiakannya? "Jangan sok tahu!"
Rayan menggidikkan bahu. "Lo sendiri yang bilang."
"Pas mabok?"
Rayan mengangguk membuat Jennie tertawa. Rayan mengernyitkan dahi menatapnya, dia heran, apa yang lucu.
"Omongan orang mabok lo percaya, bisa jadi gue ngibul." Jennie terkekeh, dia berusaha menutupi kebohongan. Bodoh sekali, harusnya ia tidak mabuk berat hingga membocorkan rahasia. Sial!
Rayan menjalankan mobil setelah berkelakson untuk pamitan. "Serah. Intinya lo enggak bisa ngerahasiain lagi dari gue."
Jennie terdiam. Tampaknya Rayan sangat kesal.
***
Haiyo! Ciee yang hubungan istimewanya kebongkar, wkwk. Hati-hati Jen, nanti Rayan diam-diam merayap loh, eh?
Jangan lupa vote + komen + share cerita ini kalau suka dan menarik, he he he^^
Makasiiih☺✊ lopyuu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...