Bab 51 - Kebenaran yang Baru Terungkap

20 10 8
                                    

"Bun, papa mulai kerja lagi hari ini." Gibran memandang dirinya di pantulan cermin besar itu, sibuk membenarkan seragam militer yang ia kenakan. Hari ini dia akan mulai bekerja lagi.

Fatimah yang sedang melipat selimut langsung menoleh kemudian mengernyitkan dahi. "Loh? Bunda kira, Papa, udah berhenti kerja." Wanita itu merapikan selimut kemudian menghampiri suaminya.

Gibran tersenyum, dia berbalik badan menatap istrinya. "Enggak dong. Papa cuma ngambil cuti beberapa hari karena papa mau jagain anak kita. Sekarang papa bisa kerja dengan tenang karena anak kita udah ada yang jaga."

Fatimah balas tersenyum, beliau merapikan topi suaminya. "Hmm, jadi kamu bohongin kita, ya? Katanya berhenti kerja."

Gibran terkekeh. "Ya, maaf. Papa cuma pingin putri kita itu berpikir saja."

Fatimah mengamit tangan kanan sang suami lalu menciumnya bersamaan dengan Gibran yang mengecup dahinya lama.

"Ya, sudah, papa berangkat dulu, ya? Mungkin besok baru bisa pulang. Assalamualaikum." Gibran menatap lama istrinya, tampak berat untuk melangkah pergi.

Fatimah tersenyum hangat. "Aku selalu mendo'akan keselamatanmu, Pah. Wa'alaikumsalam."

***

Gibran melangkah menuju keluar rumah setelah berpamitan dengan anak-anak laki-lakinya. Saat selangkah lagi menuju keluar rumah, dia berhenti karena pandangannya melihat ada Jennie yang sarapan sendiri di ruang makan.

Pria itu menghirup udara dalam-dalam kemudian berkata, "Jennie!"

Jennie langsung menoleh ke sumber suara, pintu dapur yang terbuka menampakkan isi bagian ruang keluarga, di sana papanya berdiri menatap lurus ke depan.

Gadis itu mengernyitkan dahi, heran. Papanya kerja sebagai militer lagi? Bukankah katanya telah berhenti kerja? Gadis itu menunduk saat papanya menoleh ke arahnya.

"Papa ... mau kerja. Papa enggak berhenti kerja beberapa hari ini melainkan cuti. Papa sering kepikiran sama kamu waktu papa lagi kerja makannya papa ngambil cuti dulu dan mencarikan seseorang yang dapat menjaga kamu hingga membuat papa tenang."

Oke, Jennie mengerti sekarang. Namun, kenapa harus dijaga? Memangnya Jennie tawanan penjara yang akan kabur? Dia mengunyah sayur dengan tidak santai untuk melampiaskan kekesalan.

Dia merasa terkekang sekarang.

Gibran menatap lurus. "Papa minta sama kamu untuk selalu bersama, Rayan. Karena hanya dia yang papa percayakan untukmu."

Rasanya Jennie ingin menjawab, tetapi masih enggan karena mulutnya digunakan untuk mengunyah makanan.

Gibran memejamkan mata sejenak, dia mengembuskan napas. "Papa minta maaf soal kemarin ...," ucapnya tulus, penuh penyesalan dan Jennie menyadari hal itu. "Maaf udan bentak bahkan mukul kamu. Maafin papa."

Jennie menghentikan kunyahannya, dia terenyuh. Sungguh dia tidak tega papanya berkata demikian, meminta maaf? Ya, Jennie akui papanya tidak egois, papanya bahkan mau meminta maaf padanya padahal dirinyalah yang duluan mencari keributan kemarin.

"Sebenarnya papa maafkan Raden karena ... dia masih saudara kamu."

Jennie terdiam, dia menengang. Saudara? Apakah papanya bercanda? Musuhnya bukan saudaranya.

"Raden Al Surya adalah kakak tiri kamu."

Gadis itu speechless, kakak tiri katanya? Bagaimana mungkin? Kenapa dia baru tahu sekarang? Ini tidak jelas, tidak masuk akal dan tidak mungkin.

Dia mendongak hendak menuntut penjelasan pada papanya, tetapi pria itu sudah hilang di pandangan. Jennie menunduk lagi, dia menatap nasi kuning yang tinggal sesuap itu.

Saudara tiri?

Jennie bangkit setelah menghabiskan segelas air putih kemudian berlari menuju kamar bundanya.

***

"Kang, kamu yakin mau ngurus cafe lagi sekarang?" Nana memasukkan barang-barangnya ke koper abu-abu, dia menatap sang kakak yang telah siap dengan pakaian lengkap.

Dadang menoleh dengan senyuman. "Akang enggak pernah seyakin ini."

"Tapi kok ... Nana, ngerasa enggak yakin, ya? Kek ... duh, gimana, ya. Nanti kalau cewekmu nyariin gimana?"

Dadang terkekeh, dia mengelus bahu kanan adiknya lembut seraya berkata, "Akang seyakin ini demi pujaan hati. Demi membuktikan kepada calon mertua kalau akang bisa membahagiakan, Jennie, lahir dan batin, juga materi."

Nana tersenyum. "Kamu pantang menyerah, ya, Kang? Udah tahu halangannya berat, masih aja kekeuh mau dapetin, Jennie."

Dadang tersenyum lebar sampai kedua matanya menyipit hampir tak terlihat. "Namanya juga cinta, kan?" Dia mengamit koper tersebut.

"Hmm, iya, juga, ya?" Nana terkekeh.

Dadang mengacak-acak puncak kepala rambut adiknya. "Akang mau pergi dulu, jangan lupa cari cinta sejatimu, ya, Na? Cinta itu indah."

Nana memutar bola mata. "Hilih, iyalah yang udah dapet tuh!" cibirnya kemudian mereka tertawa kecil.

Sebenarnya Dadang memiliki pekerjaan utama, yaitu mengurus cafe milik mendiang sang ayah. Pekerja ojol hanyalah sampingan untuk tambahan uang. Kini sudah lama cafe itu tidak dilihatnya dan lokasi cafenya di luar kota.

Makannya Dadang membawa koper untuk pergi ke sana, dia akan pergi beberapa bulan. Mengurus cafe bukanlah hal mudah. Perlu konsisten dan tanggungjawab.

Hal itu membuatnya harus fokus mengurus cafe dan meninggalkan keluarga juga ... kekasihnya.

"Jangan lupa pulang, ya, Kang." Mata Nana berkaca-kaca, sungguh dia berat mengijinkan sang kakak pergi.

Dadang menghela napas berat. Dia mendekati adiknya kemudian memeluknya erat. Nana menangis dengan isakan dan Dadang membiarkannya.

"Iya, Dek. Akang pasti ingat pulang dan akang akan selalu menjagamu dari jauh."

Nana meremas kemeja belakang sang kakak, dia menangis haru. Dadang mengurai pelukan, mengahapus air mata sang adik lalu mengecup kedua pipinya.

"Akang juga bakal ngasih uang buat berobat nenek. Assalamualaikum, akang pamit."

"Wa'alaikumsalam, Kang."

***

Duh, bisa-bisanya Raden keselip jadi sodara tirinya Jennie, wkwkwk,-

Aku enggak nyangka loh, si Dadang jadi seorang bos Cafe, xixi.

Yang penting enggak ketebak,-

Yaudahlah, jangan lupa vote dan komen, ya, Sobat:* add ke library juga ya.

Makasih❤❤❤

See you~

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang