Dadang dan Jennie memilih makanan yang sama pagi itu, yaitu nasi kuning. Urusan bayar belakangan walau Jennie tahu, kantongnya tidak akan cukup untuk membayar makanan ini, tetapi ia tetap saja memakannya dengan lahap.
Kekasihnya yang duduk di samping terkekeh menikmati gelagatnya yang seperti orang kelaparan yang sudah tidak makan selama tiga hari.
Mereka duduk di kursi kayu panjang dengan satu meja yang mengarah ke si penjual. Pelanggan pagi-pagi begini belum ada yang datang dan baru mereka yang mengisi.
Merasa diperhatikan, Jennie menoleh dengan mulut penuh makanan. Dia mengangkat kedua alis lalu melirik nasi kuning di piring Dadang yang masih utuh. Setelah menelan makanan di dalam mulut, Jennie menatap Dadang.
"Kenapa? Kok enggak makan? Enggak mau? Untuk aku aja gimana?" tanyanya sedikit menyindir yang langsung direspons tertawa oleh pria itu.
Dadang menatap Jennie dengan sedikit sinis lalu mencoba menjauhkan piring miliknya, dia memicingkan bibir seolah mencibir. "Ini punyaku! Ndak boleh!" ucapnya dengan alis bertaut dan bibir dimajukan.
Jennie tergelak. "Mukamu lawak! Bwa ha ha ha." Entah urat malunya sudah putus atau memang dia tidak punya urat malu? Tertawa keras seperti kesetanan di warung orang, untung sepi.
Mpok penjual itu menggeleng maklum, biasalah anak remaja, memang tidak tahu malu.
"Udah jangan ketawa keras-keras, kasian nasinya nanti nangis karena gendang telinga mereka pecah dengernya," sindir Dadang yang bermaksud bercanda.
Jennie cengengesan. "Ya maaf, khilaf, he he he."
Mereka tidak menyadari, sedari tadi ada seorang pria berbaju serba hitam dan mengenakan masker duduk di sebrang mereka, tepatnya di halte bus. Orang itu tampak menyamarkan diri dengan pura-pura membaca koran, sesekali ia memerhatikan Jennie dan Dadang.
Perlahan seseorang itu menelepon seseorang lalu terdengar gelak tawa seseorang di sebrang telepon.
"Baik, Bos. Saya usahakan dia tidak akan lepas lagi kali ini."
***
Sekarang sudah pukul delapan pagi dan pencarian mulai dilakukan oleh Gibran dan Fatimah. Mereka tidak akan menyerah untuk menemukan Jennie.
Walaupun Gibran sudah terlihat sangat lelah, tetapi demi sang anak ia tetap tegar. Kini tujuan mereka ke luar kota, kota pertama yang akan mereka kunjungi adalah Jakarta.
Jika di Jakarta tidak ketemu juga, maka mereka akan mencari ke Bandung. Jika sudah tiga hari tidak ketemu, maka polisi adalah satu-satunya solusi.
"Pah."
Gibran menoleh saat sang istri memanggil seraya mengelus lengan kirinya. Pria itu sempat memberikan senyum manis untuk membalas senyum Fatimah sebelum kembali menghadap depan, fokus menyetir.
"Insyaallah ... pasti ketemu!" ujar Fatimah menyemangati yang diangguki oleh Gibran.
"Aamiin. Semoga tidak terjadi apa-apa sama anak kita, Bund." Gibran begitu menghawatirkan fisik dan mental Jennie yang menurutnya masih butuh latihan, gadis itu benar-benar belum siap untuk pergi ke luar kota sendirian.
***
"Ah, enak bener makanannya. Jadi ngantuk, hm," gumam Jennie seraya merenggangkan otot tangan dan sedikit menguap. Setelah menghabiskan dua piring nasi kuning dirinya merasa kekenyangan dan mengantuk.
Dadang di sampingnya terkekeh. "Uluh-uluh, pacarnya Lee udah kenyang? Kok Lee enggak dikasih, sih?"
Jennie tertawa kecil, lalu menutup mulut seolah-olah kaget. "Ups, ada kamu toh? Maaf, enggak kebagian, salahnya enggak keliatan," ucapnya lalu menjulurkan lidah untuk meledek pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
ЮморTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...