"Gue heran, semenjak lo pindah ke sini, kenapa lo enggak nge-bully siswa lagi kek di sekolah-sekolah lo dulu?" Rido menatap ke Raden yang berjalan di sisi kanannya.
Alex mengangguk kemudian menimpali, "Iya. Bukannya nge-bully orang itu hiburan buat lo?" Dia ikut menatap Raden.
"Waktu gue nge-bully, Rani, kok lo malah nyuruh gue stop? Biasanya juga lo seneng, kan, liat orang lain kesiksa?" Jason menoleh ke Raden sekilas kemudian kembali menatap ke depan.
"Dan waktu istirahat, pas gue liat lo nyandung cewek--Jennie. Lo mau-maunya bawa dia ke UKS. Kenapa?" Alex mengingat peristiwa itu dan menyaksikannya secara diam-diam.
"Lo udah tobat, Den?" tanya Rido, "atau lo sakit?" lanjutnya dengan kerutan di dahi.
Perubahan Raden mereka ketahui. Dari SD sampai SMA mereka memang bersahabat dengan Raden, jadi mereka patut mempertanyakan perubahan Raden.
Jam pulang sekolah telah berkumandang sekitar 8 menit yang lalu dan saat ini mereka sedang berjalan di kooridor kelas XII menuju parkiran sekolah.
Raden tersenyum smirk. "Perubahan gue adalah awal dari permainan gue," jawabnya yang sukses membuat Rido, Alex, juga Jason mengernyitkan dahi bingung.
"Permainan apa?" tanya Alex, begitu lekat menatap lawan bicaranya karena tidak sabar mendapat jawaban.
Raden menatap lurus ke depan dan saat mereka berbelok ke kanan, mata Raden terpaku pada seorang siswi yang berdiri menyender di sana.
Raden bersiul kemudian mengguyar rambut ke samping kiri. "Liat aja. Lo bakal tahu," katanya tanpa menoleh ke lawan bicaranya.
Raden berhenti saat sudah 1 meter jarak dirinya dengan siswi itu membuat teman-temannya ikut berhenti.
Siswi itu melipat tangan di depan dada. Menapakkan satu kaki di dinding dengan jarak satu jengkal dari lantai. Siswi itu menoleh membuat rambut pendek sebahu dengan potongan lurus di ujungnya sedikit terayun.
"Kenapa lo bawa gue ke UKS?" tanya siswi itu dengan nada penuh curiga. "Sendirian pula. Emang kuat? Jarak dari kooridor kelas XII sampai UKS itu jauh lho."
Siswi itu mengubah posisi hingga berdiri berhadapan dengan lawan bicaranya. Siswi itu melirik ke belakang lawan bicaranya dan mendapati tiga cowok.
"Oh, pasti lo minta bantuan mereka, ya?" Mata siswi itu menatap ke Raden, kemudian beralih lagi ke tiga cowok di belakang. "Ck, ck, ck. Mau banget lo-lo pada diperalat sama dia."
Raden diam, bukan berarti tidak dapat menjawab, tetapi dia menunggu saat yang tepat. Wajahnya tampak tenang tanpa merasa terusik sama sekali.
"Cih! Bang**t! Cewek enggak tahu terima kasih! Masih mending, Raden, bawa lo ke UKS bukannya ke gudang, kan?" Alex berkata dengan nada sinis, menatap penuh kebencian pada siswi itu.
Jennie menoleh ke Alex, ya, siswi itu adalah Jennie. "Ngapain gue berterima kasih? Memangnya gue butuh bantuan dari dia?" Matanya melirik bengis ke Raden. "Gue enggak butuh bantuan daru lo, Musuh Bebuyutan!"
Raden terkekeh kemudian mengangkat satu tangan saat menyadari Jason maju hendak menyerang Jennie.
Jason menggeram kesal. Dia mundur selangkah.
Di kooridor ini memang sepi, mengingat jarang dilewati karena ada rumor tentang mayat dikuburkan di balik dindingnya, tentu membuat siswa di sekolah ketakutan dan hanya siswa yang memiliki nyali besar saja yang lewat di kooridor ini.
Raden menoleh ke belakang. "Kalian duluan. Ini urusan gue."
Alex, Jason dan Rido saling bertukar pandang. Mereka tidak yakin meninggalkan Raden sendiri bersama Jennie karena mengingat waktu SD Raden pernah cedera di kaki akibat tendangan maut dari si Jennie, tentu membuat mereka khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...