Semuanya kacau, dia tidak pernah mengira ini akan terjadi. Masih ada amanah yang harus ia tepati, tetapi hari ini amanah itu akan ikut tiada bersama sang pemberi.
Bagaimana bisa? Ada yang ganjal, tetapi ia tak tahu apa? Semuanya seakan terjadi begitu cepat. Pertunangan mereka batal, keluarganya kacau.
Rahang cowok itu mengeras, kedua tangan yang berada di atas pinggiran balkon menguat, matanya menghunus, memancarkan kebencian yang kentara pada seorang perempuan yang memenuhi benaknya kali ini.
"Cih! Dasar!" umpatnya. Namun, mau marah pun percuma, semua sudah terlanjur terjadi dan resepsi pertunangan adik tirinya akan berlangsung esok hari.
Cowok itu menengadahkan wajah, menatap segumpalan awan yang cerah seakan ia dapat menatap wajah almarhum ibunya.
Matanya berkaca-kaca, sesak di dada mulai terasa, ia telah mengecewakan orang yang paling ia cintai, ia telah melakukannya.
Maafin Rayan, Bu. Maaf, batinnya pilu.
Tangan lentik seseorang hinggap di bahu kiri, membuatnya menoleh ke si pelaku. Gadis itu menerbitkan senyum dan ia membalasnya dengan tatapan permusuhan.
"Sabar, Ray. Gue tahu gim--"
"Enggak! Lo enggak tahu apa pun soal gue! Pergi!" potong Rayan seraya menempis tangan gadis itu dari bahunya. Beralih dari gadis itu, ia memilih menatap awan lagi.
Gadis itu tercekat. Ia tidak salah apa pun, ia tidak melakukan apa pun, tetapi tatapan maut yang diberikan sahabat masa lalunya itu seakan menekankan bahwa ialah yang paling bersalah di sini.
"Gue dan sekeluarga bener-bener minta maaf. Reza--" Gadis itu hendak menjelaskan, tetapi segera dihentikan oleh Rayan.
"Lo mau gue usir secara halus atau secara paksa, Jennie Dinawanti?" Rayan menoleh dengan tatapan dingin membuat Jennie menghela napas.
"Gue kira lo suka sama gue," kata Jennie sedikit kecewa.
Rayan mengangkat satu alis. "Dulu, tapi sekarang enggak!" ucapnya mantap.
Jennie mengernyitkan dahi. Ia juga tidak memiliki perasaan apa pun pada Rayan, tetapi mengapa rasanya saat cowok itu mengatakan demikian seperti dirinya dihempaskan ke jurang yang paling dalam?
"Lo marah sama gue?"
"Sama kalian semua!"
"Tapi gue salah apa?" Jennie hendak mendekat, tetapi tangan Rayan mengisyaratkan agar dia diam berdiri di sana, agak jauhan darinya.
"Jangan ganggu gue!" Rayan mencoba untuk tidak bertindak kasar pada gadis itu seandainya ia bisa dan ia melakukannya. "Pergi sama kekasih pujaan lo itu! Lo bebas sekarang!"
"Kekasih pujaan?" Jennie tertawa miris. "Papa gue aja enggak ngizinin punya hape apalagi deket sama cowok itu."
Rayan mengernyitkan dahi, ia menoleh. "Terus?"
Ada rasa sesak di dadanya saat hendak menceritakan ini semua. "Gue mau dimasukin ke pesantren."
Itu bukanlah kabar baik apalagi kabar buruk, sepertinya Rayan cukup lega sekarang. Cowok itu menerbitkan seulas senyum. "Gue doain lo tersiksa di sana."
"Gue pesantren ke luar kota."
Dan Rayan tidak ingin mendengar lebih lanjut lagi cerita itu yang menurutnya begitu menohok hati.
"Gue minta lo pergi jauh dari sini dan dari hidup gue. Gue minta tolong."
"Dan gue bakal kabulin permintaan lo itu, Ray."
***
Pria itu gelisah, sejak awal makan siang ia tidak tenang. Berkali-kali mengecek handphone yang terbaring di atas meja kerjanya. Hatinya bergetar tak tenang.
"Astagfirullah, semoga kekasih hamba dalam perlindungan-Mu."
Ia begitu cemas tetang kekasihnya, biasanya saat jam makan siang Jennie akan mengusiknya, tapi kali ini handphone-nya tidak bergerak sejak tadi pagi, tidak ada nada dering panggilan masuk yang terdengar.
Tadi malam adalah obrolan yang terakhir jika teritung pagi ini. Apakah benar? Itu obrolan terakhir mereka?
Pria itu menggeleng, menyangkal semua pemikiran buruk yang memenuhi benaknya. Dia harus menunggu sampai esok tiba.
***
Kali ini Nana datang lebih awal dari biasanya atau Jennie yang datang lebih lama dari biasanya? Gadis itu mengedarkan pandangan mencari sosok yang ingin ia ajak bicara hal penting, tetapi sosok itu tidak ada.
"Nyariin siapa, Na?"
Nana menoleh ke samping kanan dan mendapati Netra berdiri menatapnya. "Nyariin Jennie. Kamu lihat dia tidak?" tanyanya yang dibalas gelengan.
"Telat kali atau sakit. Coba deh lo telepon," usul Netra dan dibalas anggukan oleh Nana.
Nana segera mengambil handphone dan mencari nama kontak Jennie lalu mulai menghubunginya, tetapi dari panggilan awal hingga panggilan kesepuluh tidak ada tanda-tanda nomornya aktif.
Apakah batrei handphone-nya habis atau dia memang terlambat datang?
Hingga lonceng masuk berbunyi dan lonceng pulang berbunyi pun, tidak ada hadirnya sosok si tomboy itu.
***
"Heh? Lo seriusan?" Yonda mengangkat kedua alis seraya menatap Rayan tidak percaya. Yang ditatap mengangguk lesu. "Jadi?" tanya Yonda meminta penjelasan.
Rayan menoleh dengan raut kesal. "Jadi apa? Udah jelas, kan? Yang nikah bukan kita berdua, tapi adek kita berdua."
"Kok mendadak? Bukannya adek lo masih sekolah, kan? Bahkan dia baru masuk SMA?"
Rayan menggidikkan bahu. "Terkadang ... ada saatnya lo tersenyum di saat orang-orang menangis dan menangis di saat orang-orang tersenyum. Terkadang juga, ada saatnya lo harus diam di saat lo mau bergerak."
"Gue enggak nyangka, sih. Tiba-tiba aja gitu." Yonda mengangguk-angguk. Dia tidak tahu pasti perihal adik Rayan dan adik Jennie menikah karena Rayan tidak memberitahu yang sebenarnya.
Biarlah kejadian itu rahasia keluarga Santoso dan keluarga calon besan. Siapa yang mengira perbincangan mereka di koridor kelas didengar oleh seorang gadis yang berada tak jauh di belakang mereka.
Gadis itu bahkan bingung hendak menampilkan raut apa saat mengetahui kabar sebesar ini dan yang menjadi pertanyaannya adalah ke mana Jennie?
***
Hai, semua! Hari ini double up! Seneng enggak? Senenglah masak enggak:'
Wkwk, semoga suka dan ikuti alurnya!
Lopyu:'
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...