Makan malam kali ini tampak berbeda dari biasanya, entah karena ada sesuatu atau memang karena suatu kejadian itu?
Entahlah, biasanya Rayan akan mendengar celotehan sang adik tiri dengan segala bahasannya yang tidak penting, tapi kali ini, sunyi begitu melanda.
"Ibu udah kenyang ...," lirih seorang wanita yang merupakan ibu tiri Rayan itu dan beranjak dari sana dengan tatapan kosong.
Rayan melirik piring berisikan nasi beserta lauk-pauk milik ibunya yang belum disentuh sama sekali, sejak awal, wanita itu hanya mengaduk-aduk tanpa ada niatan untuk melahapnya.
Lalu, cowok itu menoleh ke depan, di mana tempat sang ayah sedang mengamati handphone genggamnya begitu serius sampai dahinya berkerut seraya melahap makanan.
Entah apa yang dilakukan ayahnya itu, mungkin penting atau mungkin sangat penting. Kini, ayahnya bangkit berdiri seraya minum tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.
"Ayah ke luar sebentar, ada perlu mendesak. Habiskan makanmu!" Setelah mengucapkan itu dan meletakkan gelas kaca di atas meja, ayahnya bergegas keluar ruangan dengan handphone menempel di telinga kiri.
Kini, ruang makan itu hanya diisi oleh kehampaan. Di antara ribuan butiran nasi, tidak ada yang lebih ramai. Rayan menghela napas, dia tersenyum kecut.
Di saat Azra ada di sini, orang tuanya pasti mengajak gadis itu bicara dan mengobrol, tentunya ia diajak. Namun, semenjak gadis itu pergi dari rumah ini, Rayan semakin 'tak dianggap oleh kedua orang tuanya sendiri. Seolah hanya Azra-lah kebahagiaan dan keceriaan mereka, sedangkan Rayan?
Cowok itu meneguk air lalu berlalu dari sana, meninggalkan tempat sunyi yang kini semakin hampa. Bahkan, seburuk-buruknya malam, malam ini yang paling ia benci, mungkin itu berlaku untuk malam-malam selanjutnya.
***
Setelah makan malam usai, Fatimah berinisiatif untuk membawakan makanan ke kamar sang anak sulung. Siapa lagi kalau bukan gadisnya yang sedang merajuk?
Sejak diumumkannya bahwa Jennie beserta adik-adiknya kecuali Reza akan masuk pesantren Al Hidayat, gadis itu langsung berdiam diri di kamar dan mengunci pintunya, entah apa yang akan dilakukan gadis itu.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu mulai dilakukan Fatimah dengan senyum mengembang. "Jen? Sayang? Kamu di dalam?" panggilnya, tetapi tidak ada sahutan.
Dahinya mengernyit. "Jen?" Kembali ia mengetuk dan memanggil, tetapi tidak ada respons juga. Pikiran negatif mulai menghanyuti otaknya membuat Fatimah menggeleng.
"Enggak, Jennie enggak mungkin ngelakuin nekat. Jen? Jennie!" Suara Fatimah meninggi seiring dengan kepanikannya membuat Gibran dan anak-anak yang lainnya menghampiri.
"Kenapa?" tanya Gibran lebih dulu, menatap Fatimah yang mulai menangis. Gibran berusaha membuka pintu, tetapi gagal, kemudian ia mencoba mendobrak.
Satu, dua dan tiga. Pintu pun terbuka dengan tidak layak. Fatimah langsung menghambur masuk, sedangkan yang lain hanya mengintip penasaran.
"Jennie? Nak? Sayang?" Fatimah tidak menemukan siapa pun di kamar itu. Kasurnya tampak kusut, tetapi ada yang janggal. "Kemana selimut dan baju-baju Jennie?"
Gibran berjalan masuk, melangkah menuju jendela yang terbuka lebar hingga angin malam yang dingin menusuk sukma. Gibran berdiri di sana, menengok ke bawah dan mendapati ikatan selimut di kaki tiang jendela yang mengarah ke bawah tanah.
Jika diperhatikan, selimut itu diikat menyambung dengan pakaian hingga memanjang seperti tambang.
"Jennie kabur," ucap Gibran membuat Fatimah di belakang semakin terisak. Azra memberanikan diri menenangkan mertuanya itu dan tidak ada penolakan.
"Enggak mungkin ... Ya Allah, Sayang ...," lirih Fatimah menangis dipelukan Azra.
"Mending Kak Jennie kabur, sih, daripada bunuh diri." Ucapan Rehan yang duduk di tepi ranjang membuatnya menjadi pusat perhatian, anak laki-laki itu menunjukkan sebuah botol berukuran sedang dengan bentuk mengerucut di bagian tutup dan berwarna putih.
Itu adalah racun. Jadi, apakah Jennie hampir bunuh diri, tetapi karena ia memiliki rencana lain, akhirnya ia kabur? Gibran berkacak pinggang seraya mengembuskan napas gusar.
Ke mana lagi tuh anak? Astagfirullahalazim. Ya Allah, semoga ia dalam lindungan-Mu, batin Gibran berharap anaknya itu tidak pergi jauh-jauh.
***
Gadis berambut sebahu dengan memakai jaket hitam dan memakai kupluk jaket dan celana jins biru tua itu duduk termenung menatap luar jendela mobil.
Sopir taxi yang berjenis kelamin laki-laki itu melirik ke kaca spion dalam mobil, di mana wajah gadis itu terpantul.
"Mas? Eh, Mbak? Mau ke mana?" tanya sopir itu membuat gadis itu menoleh.
"Bawa saya ke halte mobil travel, saya mau ke Bandung," jawabnya dengan nada dingin dan kembali menatap luar jendela mobil.
"Sebentar lagi tutup, jaraknya dari sini agak jauh, jadi mungkin, Kakak, bakal terlambat sampai," ujar sopir itu hati-hati. Ia sebenarnya tidak yakin. "Ohya, Bogor ke Bandung? Ada perlu mendadak, ya, Kak?"
Gadis itu mendengus. "Bukan urusan situ!" jawabnya jutek hingga membuat si sopir terdiam.
***
Matanya menatap tajam selembar kertas putih yang bertuliskan 'Dia datang dan akan balas dendam atas apa yang telah Nana rebut darinya' dengan tinta merah berbau darah.
Dadang memiringkan kepala ke samping kiri, alisnya terangkat satu. Punggungnya menyender di sandaran kursi. Ada yang janggal, kenapa objek yang menulis itu 'dia' bukan 'aku' atau nama penulis? Dan apa yang direbut darinya?
Dadang meletakkan di atas meja, matanya menatap Nana dengan menuntut. "Kamu pernah berteman dengan seseorang? Mungkin teman kamu itu punya sahabat atau kamu pernah menyakiti hatinya?" tanyanya.
Nana mengingat-ngingat. "Sejauh ini, Nana cuma berteman sama Jennie dan sekarang Netra. Lagian Nana enggak pernah sedekat itu sama seseorang sampe-sampe dikira ngerebut."
Dadang menghela napas, ia melirik arloji yang menunjukkan sudah pukul tengah malam. Pria itu bangkit, menghampiri ranjang rumah sakit yang ditiduri sang nenek, kemudian ia membungkuk lalu mengecup dahi keriput itu.
Sebelum benar-benar pergi, Dadang sempat menerbitkan senyum pada Nana. "Akang langsung ke Bandung, ya? Besok ada penting, kamu jaga nenek baik-baik, jangan sampai lalai lagi."
Nana mengangguk lalu mengecup pipi kanan Dadang pelan. "Hati-hati, Kang."
Dadang terkekeh, mengecup dahi Nana lalu mengacak-acak puncuk rambut gadis itu. "Iya. Assalamualaikum, Adik kesayangannya kang Lee."
Nana tersenyum lebar. "Waalaikumsalam, Kakak kesayangannya Nana."
***
Jadi iri sama Kakak-Beradik itu")
Yaudahlah, walau enggak ada baca nih cerita, tapi Fitri bakal tamatin:)
See you....
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...