"Jen, udah. Kita harus pulang!"
"Enggak mau, Ray! Gue mau lagi!"
"Udah! Ayok, pulang!"
"Gue bilang enggak mau!"
"Jen, lo udah mabuk berat! Kesehatan lo nanti terganggu!"
"Apakah gue peduli? Oh, tentu tidak! Ha ha ha."
Rayan menghela napas, tangan kanannya berkali-kali mencoba membawa Jennie ke luar dari tempat ini, tetapi berkali-kali pula Jennie menolaknya. Sial! Kalau di sini terus, bisa-bisa Rayan akan kewalahan, apalagi gadis itu telah mabuk berat.
"Jen, dengerin gue ...."
"Daritadi lo ngomong juga gue dengerin kok," protes Jennie seraya menatap kesal Rayan. Dia menuangkan minuman alkohol di botol berukuran sedang ke dalam gelas kaca mini di depannya.
Rayan mengambil paksa gelas mini yang telah terisi penuh tersebut dan menjauhkannya dari jangkauan Jennie.
"Ray! Balikin minuman gue!" Jennie bersusah payah mencoba meraihnya dan Rayan begitu lihai menghindar.
"Enggak! Udah cukup!" bentak Rayan membuat Jennie terdiam.
"Aaa! Lo jahat! Gue enggak mau pulang kalo gitu! Enggak mau! Minum aja situ, masih ada punya, Bima, kok." Jennie mengulurkan tangan hendak meraih gelas milik Bima, tetapi dengan cepat dijauhkan oleh Rayan.
"Ayok, pulang!" Rayan terus berusaha mengajak Jennie pulang.
Jennie berdiri, walau sulit, dia menatap tajam lalu telunjuk kirinya teracung di depan wajah Rayan. "Lo ... lo bisa enggak? Enggak usah ganggu hidup gue? Udah bener gue mau lupain masalah kenapa lo dateng, sih?"
Rayan meletakkan gelas di meja bar kemudian sigap menyambar pergelangan tangan kanan Jennie. Gadis itu memberontak membuat Rayan kewalahan.
"Ayok, pulang!"
"Enggak mau gue bilang! Apa lo budeg?"
"Pulang sendiri atau gue gendong?"
Jennie memalingkan wajah, melipat kedua tangan di depan dada kemudian mengomel tidak jelas. Mereka benar-benar mencuri beberapa perhatian orang di sana.
"Oke, enggak ada pilihan lain." Rayan menghela napas, bersiap menggendong Jennie.
Jennie melotot saat tubuhnya diangkat, dia terkejut, segera memberontak dipanggul oleh Rayan. "Turunin gue!" pekiknya seraya memukul-mukul punggung cowok itu.
***
"Jen, kenapa lo ke tempat itu? Lo enggak mikirin perasaan papa sama bunda lo?"
Jennie tidak menjawab, dia menatap ke luar jendela mobil.
"Jen, bunda lo pasti kecewa." Rayan menoleh ke Jennie. "Coba liat diri lo, kalo lo pulang dalam keadaan gini ... gue enggak bisa bayangin seberapa marahnya, Om Gibran."
Jennie mengacak-acak rambut sebahunya kemudian tertawa miris. "Pas gue pergi aja papa gue enggak mau nyegat, apalagi negur. Kalo dia marah ... marahin balik."
"Argh ... lo enggak bakal ngerti, Jen! Ini udah kek aib buat keluarga lo! Papa lo paling benci sama minuman alkohol, iya, kan? Tapi anaknya minum minuman itu. Apalagi Tante Fatimah sangat melarang hal itu, kalo mereka tahu lo dalam kondisi gini ... apa enggak bikin mereka kecewa?"
Jennie memutar bola mata malas. "Yaudah, jangan sampe mereka tahu .... Nanti juga sampe rumah gue mau rebahan."
"Gue yakin, Tante Fatimah, bakal mengintrogasi lo. Apa lo mau abaikan?"
"Alah, enggak bakal. Enggak ada yang peduli, pasti, Bunda, lagi sibuk ngurusin pasien."
"Kalo enggak sibuk? Pikirin, Jen."
Jennie berdecak. "Ya, mau gimana lagi, udah terlanjur juga. Mau diulang juga enggak bisa, kan?"
"Ya, setidaknya lo jangan pulang dulu, itu, sih, usul gue. Nginep di hotel kek."
"Gue enggak mau nginep sendirian di hotel!"
"Yaudah, lo nginep sama sahabat lo kek."
Sahabat? Siapa, ya? Terakhir dia punya sahabat, ya ... si Penghianat itu. Tidak mungkin bersama Clara, kan?
Jennie menoleh ke Rayan dengan wajah kantuk. "Sama lo?"
Rayan menghela napas. "Iya, gue tahu, kalo gue sahabat lo, tapi masa' gue yang nemenin lo ... di hotel?"
"Emang kenapa?"
"Kalo gue buntingin lo gimana?"
"Ya, tanggungjawablah!"
"Kalo gue meninggal besoknya dan belum sempet tanggungjawab gimana?"
"Ya, gue bunuh diri aja, sih, ribet!" Jennie berdecak, dia memijit pelipis karena pening mulai menyerang.
"Ck! Pikiran lo pendek amat, Jen. Pokoknya gue enggak mau, ya, sehotel sama lo."
Jennie mulai mengernyitkan dahi, pening. "Kenapa enggak bawa gue aja ke rumah lo?"
Rayan mendelik. "Sambarangan aja. Keluarga gue itu paling gila jaga kehormatan, gue aja sama keluarga gue dilarang masuk ke tempat itu, banyak banget aturannya."
"Ya, terus?"
"Kalo gue bawa lo ke rumah dalam keadaan mabuk, pasti keluarga gue bakalan nolak lo dan ngusir."
"Terus karena itu pasti keluarga lo bakalan batalin pertunangan kita, kan?" Jennie menerbitkan senyum.
Rayan berdecak. "Yaiyalah! Makan--"
"Nah! Bawa gue ke rumah lo aja!" kata Jennie antusias, dia menepuk-nepuk pundak Rayan agar segera menyalakan mesin mobil.
Rayan mendesah. Namun, jika pertuangannya batal, bagaimana ia dapat menepati janji sang papa dan Gibran? Misinya belum terlaksana.
Cowok itu menghidupkan mesin mobil kemudian mulai menjalankannya membuat Jennie tersenyum semringah.
"Kalo gue batal tunangan sama lo, pasti gue bakalan hidup bahagia sama pacar gue." Jennie membayangkan dapat hidup bersama Dadang dengan keluarga kecil yang sederhana, tanpa ada penghalang.
Rayan mengernyitkan dahi. "Siapa pacar lo?"
"Kang Lee!"
"Si Ojol, langganan lo itu?"
"Yaiyalah, emang ada cowok yang mirip Lee Know selain dia? Ohya, rahasia! Jangan kasih tahu siapa-siapa, oke?"
Rayan tersenyum pedih. "Ternyata yang gue liat bener. Lo udah jadian," gumamnya dengan sangat pelan, bahkan hanya dirinya yang dapat mendengar.
"Ohya, kok jalannya enggak ke rumah lo? Gimana, sih?" Jennie menatap protes.
Rayan tersenyum miring. "Hotel."
"Tapi gue enggak mau sendir--"
"Sekamar sama gue."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
MizahTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...