Angin malam mulai berembus, menerpa kulit hingga membuat pori-pori membuka, cahaya bulan menemaninya di atas balkon. Sayup-sayup terdengar sapaan di sebrang, gadis itu terkekeh membalasnya. Rambut sebahunya berayun ke depan saat dirinya menjatuhkan diri di atas sofa singgel.
Handphone di tangan kiri ia tempelkan ke telinga, suara kekasihnya terdengar merdu di sebrang sana. Ah, dia merindukan kekasihnya.
"Kang?""Iya, kenapa?"
Jennie tersenyum, bukan senyum bahagia melainkan senyum sedih. Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya, dia juga tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ia bertanya hal ini.
Gadis itu menelan saliva, memejamkan mata sejenak, menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Pria di sebrang setia menanti pertanyaannya.
"Aku ... cinta kamu, Kang. Sehari aja tanpa ngeliat senyummu bikin aku gelisah. Tawamu sungguh kurindu. Tatapan teduhmu sungguh kudamba. Kapan pulang? Ah, setidaknya kamu bisa cuti sehari aja buat kita ketemu?"
Terdengar kekehan di sebrang. Apakah dia menganggap ini hanya lelucon? Hei, Jennie sudah lelah mencari kata-kata itu dan Dadang menanggapinya dengan kekehan biasa?
"Akang! Auk ah!" kata Jennie kesal, alisnya menyatu, bibirnya menekuk ke bawah dan melipat satu tangan di depan dada.
"Aduh. Pengen liat kamu ngambek nih, ah. Pasti keliatan lucu banget, pengen nyubit." Pria itu sama sekali tidak berhenti mengejeknya, sungguh menyebalkan.
"Bisa-bisanya aku punya pacar macam gini. Ck!" keluhnya.
"Langka, ya, kan?"
"Hu'um, langka banget kek sandal jepit."
"Yah, marah nih?"
"Entah!"
"Jangan marah dong, Beb."
"Aku mau ketemu kamu!" Ada nada memohon di kalimat yang Jennie lontarkan.
Terdengar kekehan di sebrang. Kali ini apa leluconnya belum habis?
"Iya, enggak."
Jennie mengernyitkan dahi mendengar jawaban yang ambigu tersebut. "Yang bener apa? Iya atau enggak?"
Pria itu tertawa membuat Jennie mendengkus kesal. "Jangan main-main ngapa loh! Aku tuh serius!" rengeknya.
Pria itu menghentikan tawa kemudian berdehem. "Iya, pasti kita bakal ketemu."
"Besok?" tanya Jennie dengan nada menuntut.
"Em, maaf, Beb. Enggak bisa, sepuluh tahun kafe ini terlantar dan baru bisa diurus sekarang membuatku harus menetap di sini untuk beberapa bulan."
Jawaban itu membuat Jennie mengembuskan napas gusar. "Hm, bete."
"Tolong ngertiin aku, ya? Kumohon jangan marah lagi, ya?"
Jennie mengatupkan bibir rapat-rapat, dia tidak marah, hanya ada rasa sedikit kecewa di lubuk hatinya yang paling dalam.
"Sabar, ya? Kita pasti bisa ketemu dan bersama selama-lamanya."
"Janji?"
"Iya, Beb. Aku janji."
Terbit senyum di bibir Jennie mendengar hal itu. Ada rasa lega di hatinya, setidaknya Dadang masih memberinya kabar setiap hari.
"Udah, tidur sana!"
Jennie merengut. "Kok udah? Masih jam berapa?" ucapanya kecewa.
"Ha ha ha ... udah malem, Beb. Nanti kamu dimarah Om Gibran. Sana tidur!"
"Tapi aku masih mau ngobrol lama sama kamu."
"Lama? Besok aja, kan, bisa. Kayak besok kita lost contact aja sampe-sampe sekarang mau lama-lama."
Kok? Rasanya seperti sindiran, ya? Kekasihnya ini benar-benar menyebalkan. "Iya, ini mau tidur kok."
"Good night, Baby. Jangan lupa mimpiin aku, ya?"
Jennie terkekeh. "Too. Iya, bye."
Tut.
Sambungan telepon pun terputus di waktu pukul 21.50. Sudah malam apanya? Bagi Jennie ini masih sore. Gadis itu terkekeh mengingat perbincangan mereka tadi.
"Ekhem! Asik teleponan sama siapa tadi?"
Mata Jennie terbelalak, handphone di genggamannya sampai merosot jatuh akibat reaksi terkejut dari mendengar suara bariton yang sangat ia kenal.
Gadis itu menoleh ke samping kanan, di mana suara itu berasal, ketimbang meratapi handphone-nya yang terdampar di bawah meja. Seketika gadis itu langsung bangkit berdiri, menelan saliva dengan gugup.
"Eh, Papa. Sejak kapan di situ?" Jennie menunjukkan cengirannya pada pria paruh baya di sana. Cepat sekali papanya pulang?
Gibran memasukkan kedua tangan di saku celana putih yang ia kenakan, menjauh dari pintu dan menghampiri anak gadisnya. Pria itu menyadari gelagat aneh yang dipancarkannya.
Gibran membungkuk, meraih handphone Jennie sebelum diambil pemiliknya. Jennie semakin was-was. Gibran menatap layar handphone itu dan terpampang nama kontak yang sangat ia kenal.
Gibran menatap Jennie dengan tatapan menuntut. "Ojol itu?"
Jennie gelisah, selalu menghindari tatapan maut yang papanya tunjukkan.
"Jawab papa, Jen!" Bentakkan Gibran sukses membuat Jennie spot jantung.
Dengan berani, gadis itu balas menatap papanya, kedua tangannya terkepal. "Iya, Pah," jawabnya mantap.
Gibran menggenggam handphone-nya sampai terdengar gemertak, pria itu mulai naik darah kemudian benda yang ia genggam terlempar dan terjun bebas dari atas balkon. Hal itu membuat Jennie menjerit kaget.
"Hari ini kalian lost contact untuk selama-lamanya."
Jennie meratapi handphone-nya, dia mendongak, menentang tatapan sang papa. "Salah Jennie apa, Pah? Salah dia apa, Pah?"
Gibran berdehem sejenak kemudian tersenyum dengan terpaksa. "Tuan Putri, apakah kamu mau mengalami hal yang sama seperti adik Rayan?" tanyanya membuat Jennie mengernyitkan dahi.
"Maksud, Papa, apa ngomong gitu?" tanya Jennie dengan tatapan penuh tanda tanya. "Sejak kapan Rayan punya adik?"
Gibran menarik lengan putrinya secara paksa. "Ayo, turun! Kamu ketinggalan informasi penting karena kelamaan ngobrol sama Ojol Sialan itu!"
Jennie menutup bibir, hendak membantah, tetapi tidak ada kuasa, apalagi rasa penasaran itu semakin memuncak. Tiada daya, dia pun pasrah saja.
Beberapa menit akhirnya Jennie dan Gibran berada di ruang keluarga yang telah sesak orang-orang dan yang membuat Jennie ternganga adalah bundanya pingsan di atas sofa dengan dikelilingi adik-adiknya sedangkan Reza duduk berdampingan dengan seorang perempuan.
"Bunda kenapa?" Pertanyaan itu lantas mengundang mata menoleh ke pintu, Jennie berdiri mematung. "Ada apa ini?"
"Reza ngadain acara lamaran untuk Azra, malam ini juga," jawab Rayan yang berdiri di samping sofa yang diduduki oleh Reza dan Azra.
Jennie menatap adik pertamanya itu. Wajah cowok itu tampak memerah dan ada luka di sudut bibirnya yang kiri. "Kok tiba-tiba? Terus pertunangan kita gimana, Ray?" Benak gadis itu masih dipenuhi pertanyaan.
"Pertunangan kita batal, adik gue butuh tanggung jawab atas apa yang adik lo lakuin, Jen."
Di sanalah Jennie mulai mengerti, apalagi melihat bundanya berbaring damai di sofa. Dia bukan anak kecil lagi atas apa yang terjadi sekarang, dia sudah besar dan mengetahui kondisi yang terjadi.
Lalu sekarang apa? Patutkah Jennie senang atau sedih?
***
Endingnya masih lama, mungkin bakal ada 80 bab cerita ini, seandainya digabungin sama yang di akun 0809fitriyani")
Makasih dah mampir^^
Lopyu :'v
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...