Bab 33 - Beri Izin

7 2 0
                                    

Hai, readers! Baru up lagi, he he he. Bener-bener dah, masalah idup author juga minta digaplok sama sandal Pak Jokowi. Ngeselin, masa' setiap mau lanjut bab ini pasti aja ada godaannya. Yaudahlah ya, sekian salam pembuka ini, sehat-sehat ya, selamat membaca!

***

"GPS enggak mungkin nipu kita, kan, Pa? Masa', Jennie, beneran diculik di sini?" Fatimah menatap gedung rumah sakit tua tersebut ragu. Di sampingnya sang suami mengangguk.

"Ojol Sialan! Awas saja terjadi sesuatu," umpat Gibran penuh amarah.

"Apa, Papa, yakin kalau yang menculik, Jennie, adalah Dadang? Kenapa, Papa, seyakin dan setidak sukanya sama, Ojol Korea, itu?" tanya Fatimah penuh selidik.

Gibran menoleh ke istrinya sekilas kemudian berdehem dan mengalihkan percakapan. "Untung, Papa, ingat kalau, Jennie, punya ikat rambut pelacak yang dapat dengan mudah kita temukan dia menggunakan GPS."

Fatimah berdecak. "Alah, sekarang sombong amat, tadi di rumah ngamuk-ngamuk seperti sapi hendak menstruasi gara-gara, Papa, frustasi karena tidak tahu di mana, Jennie. Lagipula, kita harus berterima kasih pada, Rayan, karena cowok itu yang mengingatkan dan yang mengusulkan kamu, Pah."

Gibran tersenyum tipis, dia menatap sayang pada istrinya itu. "Iya, papa, setuju sama usul kamu, tapi ... ucapan terima kasih enggak bakal cukup kalau pelacak itu benar-benar bekerja dengan baik, kita perlu beri dia hadiah." Terbit senyum yang sedikit membuat Fatimah mengernyitkan dahi.

"Hadiah apa, Pah?" tanya Fatimah penasaran, menatap lekat-lekat wajah sang suami.

"Om, Tante, maaf, Rayan, telat dateng soalnya nunggu diizinin sama guru piket dulu tadi, pake acara buat surat persyaratan segala, lama pula," keluh Rayan yang baru saja bergabung bersama Fatimah dan Gibran.

"Enggak pa-pa, yang penting kamu sudah sampai. Ayok, segera masuk dan temukan, Jennie!" kata Gibran sebelum beranjak dari sana dan masuk ke bangunan tua itu.

Fatimah menghela napas, pertanyaannya akan menjadi pertanyaan jika tidak menemukan jawaban, tapi tenang, masih ada waktu 8 jam lagi tersisa untuk mengetahui hal itu. Lihat saja, Fatimah akan segera mencerca suaminya jika Jennie telah terselamatkan.

Dia pun ikut masuk dengan di dampingi salah satu polisi wanita.

Jajaran mobil polisi dan garis polisi berada di sekeliling gedung tersebut. Gibran-lah yang mengundang mereka dengan tuntutan penculikan anak yang masih di bawah umur.

"Perhatian! Gedung ini telah dikepung! Segera serahkan diri sebelum kami membasmi kalian! Bebaskan anak di bawah umur! Sekali lagi, gedung ini telah dikepung! Segera serahkan diri sebelum kami membasmi kalian! Bebaskan anak di bawah umur!" ucap seorang polisi dengan menggunakan toa yang ia arahkan ke dalam gedung guna memancing penculik keluar.

***

Jennie dan Dadang berlari dengan tujuan menemukan jalan keluar, tetapi yang ada mereka hanya berlari tak tentu arah atau memang Jennie sengaja hanya untuk melarikan diri dari Dadang atau memang dia juga tersesat?

Jalan buntu. Mereka berhenti berlari.

"Argh! Sialan! Di mana, sih, jalan ke luarnya? Mirip labirin aja daritadi kagak nemu cahaya! Kampr*t! Set*n!" umpat Jennie sambil meninju tembok berkali-kali membuat Dadang khawatir.

"Udah, Jen! Stop, sakiti diri sendiri!" kata Dadang yang langsung menahan pergerakan tangan Jennie agar tidak meninju tembok lagi.

Jennie memberontak. "Lepasin gue! Bangs*t!"

Bugh!

Tidak ada pilihan, demi lepas dari Dadang, Jennie meninju perut pria itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan. Awalnya Jennie acuh dan memilih melanjutkan aksinya meninju tembok untuk melampiaskan amarah.

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang