Gibran mengembuskan napas gusar berkali-kali, di sampingnya Reza ikut-ikutan gusar.
"Pah, kita cari ke mana lagi?" tanya Reza dengan desahan lelah.
Gibran melirik arloji di tangan kiri yang menunjukkan pukul satu dini hari dan mereka sudah mencari ke penjuru kota. Oke, lebih baik ia kembali dan akan mencari beberapa jam lagi.
"Kita enggak boleh nyerah. Memangnya habis pulang, apa jawaban yang kita kasih ke orang rumah?" ucap Gibran frustasi. Ia memikirkan keadaan Fatimah yang nanti akan kecewa mengetahui Jennie belum ketemu.
Reza menggeram, ikut frustasi. Memejamkan mata sejenak, wajah Azra-lah yang memenuhi benaknya kali ini. "Pah, Reza pengen ketemu istri ...," lirihnya dengan suara manja.
"Ck!" Gibran berdecak seraya menghela napas kesal. "Mentang-mentang ... dasar bocah," gumam pria itu dan memutar arah mobil menuju ke rumah. "Yaudah, kita pulang sekarang."
Akhirnya, senyum terbit di bibir Reza. "Makasih, Pah. Tahu aja kebutuhan suami muda," katanya seraya terkikik. Jujur saja ia sedang mencairkan suasana agar tidak terlalu panik. Ia ingin menghibur papanya itu.
"Tapi, gimana sama Jennie? Dia baik-baik aja, kan? Apa jangan-jangan dia diculik lagi? Ah, tapikan Raden udah tobat katanya, masa' iya diculik?" gumam Gibran yang dibalas gidikan bahu oleh Reza.
***
"Apa? Jennie kabur?" Kerutan di dahi Raden bertambah, dia tampak kaget saat mengetahui kabar itu dari orang di sebrang. "Tunggu ... yakin banget, nih, kabur? Bukan diculik gitu? Ada tanda-tanda dia kabur?"
Clara memiringkan kepala ke samping kanan memerhatikan gerak-gerik Raden yang sejak tadi mondar-mandir di depan televisi seraya mengobrol via telepon.
"Ck! Cari dia! Sampe ketemu, kalo keliatan, langsung tangkep! Kalian jangan sampe kecolongan! Coba cari sampe ke luar kota, mungkin dia ke Bandung? Atau Jakarta? Ayo, cari bang**t! Jangan banyak tapi-tapi! Buruan!"
Tut. Panggilan ia putuskan dan segera duduk di samping Clara dan menuangkan wine dari botol kaca ke gelas kaca berukuran mini dan meneguknya terburu-buru, ia begitu gelisah.
Clara terkekeh.
"Ngapain lo ketawa? Enggak lucu!" kata Raden dengan dengusan kasar.
Perempuan itu menggidikkan bahu, memutar-mutar gelas kaca mini di tangan kiri yang berisi setengah wine itu. "Kenapa, hm? Rencana gagal lagi, Darling? Apa trik lo selanjutnya ..., Kak Raden Al Surya?" sindirnya dengan satu alis terangkat dan senyum smirk.
Kini sudah tiga gelas wine ia teguk dan membuatnya semakin risau hingga memuncak dan membuat pening menyerang. Buntu, otaknya buntu ide sekarang. Kenapa pula Jennie harus kabur dari rumah? Semua semakin sulit saja! Ah, sialan!"Diem lo!" ucap Raden menekankan setiap kalimatnya.
Clara menyesap minumannnya, kemudian mendesah nikmat. "Seandainya lo air dan dia kain yang hanyut, mungkin sekarang posisinya, kain itu tersangkut di tengah-tengah derasnya aliran air."
Raden mendesah kecewa. "Setidaknya, arus gue masih kuat buat menghanyutkan sesuatu yang membuat kain itu nyangkut."
"Lo itu benar-benar air. Diam-diam, tapi menghanyutkan."
"Dan lo itu duri. Diam-diam, tapi beracun."
Setelahnya mereka tergelak. Ya, entah apa yang lucu.
***
Sepulangnya dari Jakarta dan kembali ke Bandung, Dadang kini tidak tahu harus bahagia atau malah marah dengan kekasihnya pagi ini?
Entahlah apa yang membuat Jennie datang ke kafenya pagi-pagi buta sudah berdiri di depan pintu dan ketika melihat Dadang yang baru sampai itu, dia dibuat terkejut karena langsung dipeluk oleh Jennie.
Dadang tidak tinggal diam, justru ia melepaskan segala rasa rindu yang melanda dengan membalas pelukan Jennie. Menghirup dalam-dalam aroma parfum, mint? Apakah ini kebiasaan baru Jennie memakai parfum? Kenapa bau parfumnya mint?
"Kang, ayo nikah!"
Dadang yang syok mendengar permintaan Jennie langsung mengurai pelukan, meremas kedua bahunya, menatap matanya dalam dan mengangkat satu alis. "Nikah?" tanyanya yang diangguki Jennie.
"Ayo nikah! Papa, bunda, adik-adik aku udah enggak peduli lagi. Papa sekarang semakin ngekang aku, aku enggak mau ...," ucap Jennie dengan penuh harap. Maraih tangan kanan Dadang lalu menggenggamnya erat.
Dadang menggeleng pelan. "Kamu ke sini sendirian?"
"Iya." Jennie mengangguk.
"Naik apa heh?"
"Travel."
"Enggak capek? Dari kapan kamu berangkat, hm? Udah sarapan?" Kini kedua pipi Jennie dihinggapi telapak tangan Dadang yang hangat.
Jennie tersenyum pedih. "Dari semalam. Belum."
"Yaudah, ayo makan dulu. Kit--" Ucapan Dadang terpotong karena tiba-tiba bibir dikecup oleh Jennie singkat. Hal itu membuat Dadang syok.
"Aku enggak mau makan. Aku mau kamu nikahin aku sekarang juga! Aku enggak mau dikekang terus, aku mau hidup sama kamu selama-lamanya, Kang!" ucap Jennie lalu menggenggam erat tangan kanan pria itu. "Please ...."
Dadang perlahan melepas genggaman Jennie. "Belum, Jen."
"Terus? Apa kamu mau menyerah? Kenapa kita enggak kawin lari aja?"
"Iya, aku tahu, tapi aku mau sampai kita direstui dan pernikahan kita jadi hal terindah dan terakhir di hidup kita." Pria itu menyelipkan anak rambut Jennie ke belakang telinga.
"Kang? Apa kamu sanggup?"
"Kenapa enggak?"
"Hubungan kita enggak direstui ...."
"Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti."
Gadis itu tersenyum lebar dan semakin melebar. "Jadi? Sekarang aku gimana?"
Dadang balas tersenyum. "Makan dulu, habis itu pulang. Memangnya kamu dibolehin pergi ke luar kota sendirian, hm?"
Jennie menggeleng lalu mengernyitkan dahi. "Aku enggak mau pulang. Lagipula aku kabur dari rumah."
Dadang menggeleng pasrah. "Ya ampun, Jen. Kamu tuh hobi banget bikin orang panik, ya? Coba kamu pikirin dulu sebelum apa-apa itu. Sekarang pasti bunda kamu khawatir banget, apalagi sekarang papa kamu pasti nyariin."
"Ya, gimana, aku enggak mau masuk pesantren, tapi papa tetep ngotot mau masukin aku ke pesantren. Aku tuh capek, Kang, capek," keluh gadis itu dengan mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia begitu pusing.
"Jen, kamu pucat. Pasti karena tadi malam belum makan, kan? Yuk, mampir ke warung." Dadang menatap Jennie prihatin. Soal pucat, wajah Jennie memang pucat, mungkin karena kelelahan.
Gadis itu tidak ada pilihan lain selain mengangguk lemah, dia memang sangat lapar.
Akhirnya mereka pergi ke warung makan terdekat dengan mengendarai motor scoopy coklat maroon tersebut. Meninggalkan area kafe yang masih tertutup.
Tampa ada yang mengetahui, di belakang motor scoopy terparkir mobil sedan hitam yang menguntiti mereka pergi.
Tampak mobil itu tidak terlihat mencurigakan hingga membuat Dadang dan Jennie tidak sadar bahwa mereka sebenarnya diikuti.
***
Semoga alurnya jelas dan semoga suka, ya^^
Kayaknya endingnya enggak lama deh. Pantengin terus^^
Lopyu:"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
HumorTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...