Bab 66 - Pasangan labil

17 7 2
                                    

"Za ...."

Reza berdehem untuk membalas sapaan istrinya di samping kiri. "Iya?"

Azra menekan perut kemudian menggigit bibir bawah, dia tampak risau sejak pertama menaiki mobil ini. "Apa ... gue ... ah, enggak, papa lo ...," ucapnya kikuk. Sungguh dia sangat gugup dan merasa bersalah.

"Kenapa papa gue?" tanya Reza tanpa menoleh dan masih fokus menyetir. Memang dasarnya ia tidak peka atau memang sengaja tidak ingin memperhatikan?

Azra mengerucutkan bibir. "Apa pas kita ke rumah lo, papa lo enggak marahin gue? Pertama kali gue liat dia ... keknya galak banget." Dia menggigit kuku jempol dan menatap keluar jendela mobil, berusaha menghilangkan kerisauan.

Reza tersenyum kecut. "Kenapa dia harus marahin lo? Yang salahkan gue, dia emang gitu. Orangnya tegas dan sangat cuek." Cowok itu menghela napas.

Azra menoleh ke samping kanan dan mendapati Reza masih menyunggingkan senyum kecut. "Maafin gue, Za ...," gumamnya. Maaf, karena lo gue jebak dan karena gue lo terjebak, lanjutnya dalam hati.

Reza menoleh sekilas. "Buat apa minta maaf? Emangnya lo yang habis ngelakuin kesalahan?"

Azra tersenyum manis, lalu menggeleng kecil. "Mungkin iya. Bukannya manusia tidak luput dari kesalahan?"

"Ck! Gue jadi heran, semenjak lo nikah sama gue, lo jadi sering minta maaf. Udah deh, enggak usah ngerasa bersalah, harusnya lo bersyukur punya suami ganteng dan peka kek gue, ye, kan? He he he."

Azra memutar bola mata malas. "Iyain aja dah!" Dia mengacuhkan Reza yang tergelak, lebih memilih mengusap perut datarnya, senyum terbit di bibir seksi itu. "Kalo ternyata ini bukan anak lo gimana? Apa lo mau ceraikan gue?" tanyanya dengan tatapan pilu mengarah pada perutnya.

Reza mengernyitkan dahi. "Az, apa lo yakin kalo lo bakalan hamil? Bukannya kita enggak sampe klimaks? Gue juga enggak ngerasain tuh." Bahunya terangkat acuh tak acuh.

Masalahnya, yang sama gue itu bukan lo, Za! Lo cuma dijebak! Apa lo enggak ngerti sama ucapan gue barusan? batin Azra mulai meremas kaos putih itu. "Lo enggak ngerti sama perkataan gue tadi."

"Tunggu ... memangnya lo tadi nanya apa? Gue denger tadi lo nanya kek ada anak-anaknya gitu."

Azra menghirup napas dalam-dalam kemudian mengulum bibir mencoba menahan isak. "Gue bukan anak baik-baik ... keluar malam pulang nunggu dijemput di apartemen cowok. Gue badgril ... jarang ke club cuma sering mampir ke apartemen. Ada kemungkinan ..." Ia menggantungkan ucapan seraya meremas perut hingga kaos yang ia kenakan kusut.

"Lo pernah ditidurin cowok gitu?" tanya Reza hati-hati.

Dada Azra mulai sesak mengingat ia sering tidur bersama satu cowok dan sampai ke tahap ketidaksengajaan yang tentunya disengaja oleh cowok itu.

Azra memang sering main malam-malam ke apartemen teman cowoknya karena dengan begitu ia mendapatkan kebahagiaan, tetapi ia tidak pernah mau memberikan tahtanya pada siapa pun kecuali dengan seseorang cowok yang tiba-tiba memberikannya minuman dengan campuran obat terangsang, lalu semua terjadi diluar kendalinya.

Untuk yang kedua kalinya, itu memang disengaja karena cowok itu sudah memaksanya. Ia pikir cowok itu mau bertanggung jawab suatu hari nanti, tetapi nyatanya ... ah, berengsek sekali!

"Az?" Reza memanggil karena khawatir pertanyaannya menyingung hingga membuat Azra termenung dengan tatapan kosong. "Sorry, gue bener-bener enggak bermaksud buat--"

"Iya gue ngerti, lo mau nerima gue dan tanggung jawab aja udah syukur," potong Azra mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. "Yang gue takutin, kalo ternyata gue hamil anak orang lain gimana?" lirihnya.

Reza tersenyum mencoba menenangkan sang istri. Ia memarkirkan mobil tepat di depan rumah berukuran besar dengan dua lantai berwarna putih gading juga coklat tua di bagian tiangnya.

Reza menggenggam jari-jemari kanan Azra hingga membuat wanita itu menoleh terkejut. Itu belum apa-apa karena di kejadian selanjutnya, cowok itu dengan cepat mengecup hidungnya agak lama. Sungguh, mata Azra hampir keluar dan napasnya tercekat hingga menimbulkan dadanya bergemuruh hebat.

Cuma di hidung, Az, lebay amat lo, rutuk Azra mencoba menenangkan diri, walau ia tahu, dengan cara apa pun ketegangannya tidak akan sirna sebelum Reza menjauhkan diri.

"Tenang aja, gue yakin, kita cuma dijebak dan pastinya lo aman-aman aja enggak bakal hamil," ucap Reza menyadarkan Azra. "Lagian, kalo memang enggak hamil, baguslah."

Azra mengernyitkan dahi, mengikuti arahan Reza untuk keluar dari mobil lalu mereka berjalan bergandengan tangan menuju teras rumah. "Kok bagus?" tanya Azra dengan satu alis terangkat menatap suaminya.

Reza tersenyum. "Ya, baguslah! Kita bisa sekolah dengan tenang. Bukannya kita masih kelas satu SMA? Sayang banget kalo enggak dilanjutin, apalagi gue belum bisa jadi tulang punggung buat keluarga."

Azra berkedip dua kali. "Lo mau lanjut sekolah?" tanyanya dengan ekspresi tak terbaca antara penuh kebingungan dan kekhawatiran.

Reza menghentikan langkah lalu mengetuk pintu, saat terdengar suara sang pembantu di dalam menyahuti, ia pun menatap istrinya lagi. "Iyalah, lo juga mau sekolah lagi, kan?"

Azra spontan menggeleng. "Enggak! Gue capek sama tugas-tugas dan guru-guru di sekolah apalagi kalo udah bahas materi. Oh my god! Lo kayak enggak ngerti gue aja!" ucapnya protes.

Reza menggidikkan bahu. "Ya, terserah. Palingan lo di rumah ini, bantuin Bibik Surti ngurus rumah."

Pintu terbuka menampakkan Bi Surti yang mengenakan baju daster. Namun, tampaknya tidak disadari oleh kedua pasangan muda itu karena sibuk mengobrol.

"Heh! Gue bukan pembantu!" Azra mencubit lengan cowok itu seraya melotot.

"Awh! Sakit bego!" umpat Reza membalas cubitan Azra hingga terjadilah aksi kejar-kejaran di halaman depan rumah.

Aksi mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang di depan gerbang sana dan juga Gibran yang menyaksikan di balkon bersama Fatimah.

"Sudah aku bilang, mereka cuma anak labil," kata Fatimah dengan kekehannya.

Gibran mengusap lembut bahu istrinya yang ia rangkul. "Masih labil dan ceroboh. Ini akibat kita kurang mengawasi anak-anak, Bund."

Fatimah menatap suaminya, menghela napas lalu beranjak dari sana. "Iya, aku tahu. Ini bukan hanya kesalahan mereka, tapi kita juga."

Gibran berdehem, masih berdiam di sana, menatap dua insan itu yang kini tergelak sambil berbaring telentang di atas rerumputan hijau itu. Salah satu sudut bibir Gibran terangkat. "Dasar remaja labil, gitu udah berani melewati batas. Astagfirullahalazim."

***

Semoga suka! Jangan lupa vote dan komen yau^^

Lopyu:*

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang