Bab 44 - Gercep!

21 11 18
                                    

"Nenek, ini bikin panik aja loh!"

Nana mengerucutkan bibir kesal seraya memijit kedua bahu sang nenek. Dadang yang memijit kedua telapak kakinya menggeleng kecil.

"Minta perhatian aja harus bikin orang panik dulu? Nenek, mah." Dadang menatap agak kesal, setengah mati dia panik tadi.

Sang nenek terkekeh yang berakhir dengan terbatuk-batuk. Segera Nana mengambilkan segelas air di atas nakas dan menyerahkannya.

"Ya, nenekkan pengen dingertiin sama lu berdua, sebelum nenek dijemput malaikat," kata sang nenek setelah meneguk air putih itu dan menyerahkan kembali pada Nana.

"Jangan ngomong gitu, Nek." Nana tidak suka perkataan terakhir sang nenek. Dia seperti memiliki firasat tidak enak. Seolah-olah neneknya tahu kapan ajal akan menjemput.

"Iya, Nek, jangan ngomong gitu. Kalo, Nenek, memang perlu diperhatiin sama kita tiap waktu ... biar, Lee, aja berhenti kerja."

Nana mengangguk. "Nana, juga bakal berhenti sekolah, biar Akang tetep kerja. Nana bisa kasih perhatian ke Nenek tiap jam kok."

Neneknya menggeleng seraya terkekeh. "Enggak perlu. Nenek, cuma mau kalian cepat pulang, nenek pingin dipijitin, itu aja."

"Kenapa enggak jujur aja? Kenapa alasannya tetangga bilang nenek jatuh dari kamar mandi?" Dadang menghela napas sedikit kesal.

Neneknya menyengir. "Kan, udah nenek bilang, biar lu pada cepet pulang."

"Kalo mau cepet, kan, ada tetangga, Nek." Nana berdecak kesal.

"Kagak enak kalo mereka yang mijitin," keluh Neneknya.

"Kan, biar cepet, Nek."

"Nenek maunya kalian yang mijitin. Nanti kalo nenek dah mati kalian enggak akan sempet lagi mijitin."

"Nenek, jangan ngomong gitu."

"Udah waktunya, Na, Lee. Umur nenek belum tentu panjang umur."

"Tapi, jangan ngomong gitu." Dadang mulai khawatir.

"Makannya lu cepet nikah!" Sang nenek menatap Dadang tajam membuat Dadang menyengir.

"InsyaAllah, secepatnya."

"Jangan lama! Minimal tiga tahun nenek udah ngendong cucu!"

"Ya salam. Kecepetan, Nek. Wong, calonnya aja masih sekolah."

"Kelas berapa?"

"Sebelas."

"Setahun lagi, cepet itu, ya, lu-nya gerceplah!" Sang nenek memukul kepala Dadang dengan bantal guling karena greget, Nana terkekeh kecil dibuatnya sedangkan Dadang tertawa.

"Tenang aja, Nek. Yang penting doain, cuma satu kok halangannya."

"Apa?" Nana dan sang nenek bertanya serempak.

"Papanya."

***

Jennie sejak tadi tampak gelisah, selalu menatap layar handphone berharap ada yang memberi kabar tentang neneknya Nana dari kekasihnya.

"Kenapa, Jen?"

Jennie menoleh saat Rayan bertanya, kemudian kembali menatap ke luar jendela mobil. "Enggak ada."

"Pasti ada."

"Enggak, Ray." Jennie menjawab malas, dia masih kesal soal tadi saat di depan gerbang sekolah bersama Dadang.

"Lo marah sama gue?" Rayan menjadi harap-harap cemas.

"Entah." Jennie menjawab cuek, tanpa ada niatan untuk melirik cowok di sampingnya.

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang