Bab 71 - Nana Mengagumkan

14 5 3
                                    

Tok! Tok!

"Sebentar!" Nana berjalan seraya mengikat rambut hendak membuka pintu yang baru saja diketuk seseorang. Entah siapa yang bertamu? Mungkinkah kurir?

Saat pintu terbuka, gadis itu sempat terkejut bukan main. Bagaimana tidak? Di sana berdiri Fatimah, Gibran dan ... Rayan. Ada apa mereka mendatangi rumahnya?

"Eh, Tante, Om," sapa Nana sopan lalu melirik Rayan. "Hai, Ray. Ada apa, ya?"

Fatimah mengusap bahu kanan Gibran pelan, ia menatap Nana dengan senyum mengembang. "Jennie hilang, ah, lebih tepatnya kabur. Apa dia di rumah kamu?" tanya Gibran, berharap Jennie ada di dalam rumah Nana.

Nana mengernyitkan dahi. "Jennie kabur? Dia enggak ada di sini. Kenapa bisa kabur?" tanyanya. Apakah Dadang tahu hal ini?

Gibran dan Fatimah mengangguk. "Anak itu memang bandel, dia enggak mau disuruh masuk pesantren, padahal di sana, kan, ia bisa jadi lebih baik," kata Gibran sedikit kesal.

Nana terkekeh. "Dia memang seperti itu, ya? Ohya, Om, mungkin dia ke Bandung?" Gadis itu duga, Jennie menemui Dadang di sana, secarakan Jennie tahu tempatnya.

Gibran mengernyitkan dahi. "Ngapain dia ke Bandung? Kenapa kamu seyakin itu?" tanyanya.

Nana meremas jari-jemari tangan karena bingung mengatakannya. Apakah orang tua Jennie tahu kalau kakaknya punya hubungan dengan Jennie? "Kakak saya bekerja di sana, Om. Mungkin Jennie mengunjunginya."

Gibran mengangkat satu alis, hampir tersulut emosi, pikiran buruk mulai menyelimuti. Fatimah berusaha menenangkan dirinya.

"Jadi, kakak kamu yang bikin anak saya kabur? Bilang sama kakak kamu itu, saya enggak akan restuin hubungan mereka sampai kapan pun!" ucap Gibran tegas.

Nana terdiam, ia ingin menjawab, tetapi mengingat sopan-santun, ia jadi tak berkutik sama sekali. Sebenarnya ia geram dengan papanya Jennie, apa susahnya merestui mereka?

"Kenapa, Om? Apakah karena beda kasta?" tanya Nana, ia cukup sadar diri. Keluarga Jennie orang berada sedangkan keluarganya orang bawah.

Fatimah ingin segera membawa suaminya pergi, tetapi pertanyaan Nana membuat niatnya urung. Pertanyaan itu hanya Gibran yang dapat menjawab.

"Iya. Saya tidak mau, anak saya nanti dikasih makan batu sama kakak kamu!"

Jawaban dari Gibran sukses membuat hati Nana mencelos. Segitunya? Namun, beberapa detik kemudian, gadis itu menarik kedua sudut bibirnya ramah.

"Kalau mereka mau usaha, pasti bisa kok, Om. Lagipula, bersama-sama di saat susah itu senang, dibanding di saat senangnya saja dan enggak ngebosenin. Lagipula, sekeras-kerasnya, Om, ngejauhin mereka, toh kalo jodoh, Om, bisa apa?"

Fatimah dibuat kagum sampai ia tersenyum lebar. Gibran bahkan dibuat terdiam dengan raut tak terbaca.

Rayan yang berdiri di dekat mobil terparkir dan mendengarkan mereka pun ikut kagum dengan Nana. Oke, Rayan akui, Nana itu baik, perhatian, lemah-lembut dan juga bijak.

Namun, sayangnya, Rayan masih gengsi untuk mengatakan itu secara langsung, lagipula ia masih dalam proses melupakan amanah dari sang almarhum ibu. Dekat dengan Nana, sama saja membawa diri pada jurang kehampaan.

"Hm, kamu benar juga. Sebenarnya saya tidak keberatan mereka bersama kalau saja kakak kamu punya job tambahan dan dapat menjamin kebahagiaan anak saya." Gibran seolah memberikan bubuk menyindir dengan keadaan ekomoninya, melihat tampilan rumah minimalis itu membuat Gibran tidak mempercayai kakak Nana untuk membahagiakan masa depan Jennie.

Nana tersenyum. "Kakak saya bukan orang susah-susah amat, Om. Uang bisa dicari dan kalau mau, kakak saya bisa lebih sukses lagi dari, Om. Hanya saja ia orangnya memang begitu, katanya 'harta tidak dibawa mati'."

Fatimah semakin kagum. Ah, andai saja Gibran merestui hubungan Jennie dengan Dadang, wanita itu pasti sangat bahagia sekali.

Gibran menghela napas. "Saya pikirkan lagi."

Peluang besar! Itu bukanlah penolakan, bisa saja Gibran mengubah keputusannya dan merestui mereka.

"Ya, sudah kalau begitu. Kami permisi, terima kasih," ucap Gibran dan segera berlalu dari sana.

Nana hanya membalas dengan anggukan dan senyuman. Matanya menangkap Rayan yang juga menatapnya. Gadis itu tersenyum lebar, melambaikan tangan saat cowok itu memasuki mobil.

***

Suasananya begitu sunyi, minim cahaya, oksigen juga menipis. Jennie tahu, ia kembali diculik. Kali ini gadis itu tidak tahu motif apa Karim melakukan ini. Padahal ia tidak merasa melakukan kesalahan.

Dia menggerakkan tangan yang ternyata diikat ke belakang, posisinya duduk, punggung menempel pada tiang kayu itu. Ia seolah memeluk tiang kayu ke belakang.

Ia bangkit berdiri karena kakinya tidak diikat, ia mampu berteriak minta tolong, tetapi ia memilih bungkam karena ia tahu, percuma saja teriak karena tidak akan ada yang mendengar.

Derap langkah seseorang di depan sana menghentikan pergerakan Jennie dalam mencoba melepas ikatan tali tambang tersebut. Matanya menyipit saat menangkap siluet hitam seorang cowok yang ia yakini adalah Karim.

Saat sosok itu semakin dekat dan semakin jelas, maka saat itu juga tebakan Jennie benar. Terdapat pistol di genggaman tangan kirinya.

"Hai, Jen. How are you? Kaget, ya? Cemas, ya?" tanya Karim dengan nada mengejek.

Jennie menatap tajam, waspada ia terapkan. "Mau apa lo?" tanyanya.

Karim terkekeh, berjalan lebih dekat lagi. "Gue mau lo minta maaf sama gue."

"Buat?"

"Ya, buat semuanyalah! Gue mati-matian berjuang dan lo acuhin gitu aja? Gue sakit! Sakit banget, asal lo tahu!" Karim menekan dada kiri dramatis.

"Heh! Kayak di dunia ini cewek cuma gue doang aja. Lemah." Jennie tersenyum miring, tidak ada ketakutan di matanya.

Hal itu membuat emosi Karim tersulut. "Lo main-main sama gue?" Ia menodongkan ujung pistol ke dahi Jennie. "Ini ada pelurunya lho."

Gadis itu memiringkan kepala. "Yaudah, tembak, tunggu apa lagi? Mangsa lo ada di depan. Ayo!" tantangnya.

Karim mengarahkan pistol ke samping tubuh Jennie lalu menarik pelatuk dan peluru melesat bersamaan dengan suara tembak yang menghantam dinding belakang.

"Gue seriusan, Jen! Lo bakalan mati!"

Jennie menggidikkan bahu. "Ya, bodoamat. Lagipula, gue udah enggak semangat idup lagi sekarang."

"Tapi gue enggak mau lo mati dulun sebelum lo minta maaf."

Jennie berdecak. "Iya, gue minta maaf. Puas? Sekarang tembak gue! Buruan!"

Karim tersenyum miring. "Oke, kalo itu mau lo." Pistol ia arahkan kembali ke dahi Jennie. "Ada kata-kata terakhir?"

Jennie tersenyum. "Enggak ada."

"Bagus!" Ibu jari Karim bersiap hendak menekan pelatuk, tetapi seseorang menempis tangannya hingga pistol itu terhempas ke lantai.

Karim menoleh ke belakang dengan terkejut, belum sempat ia mengenali sosok itu, wajahnya sudah dipukul hingga ia hampir tersungkur.

Jennie terkejut bercampur heran. "Raden?"

***

Makasih dah mampir, jan lupa vote ya^^

Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang