Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore dan Gibran juga Fatimah sedang di perjalanan menuju ke Bandung, di mana kafe yang diurus Dadang ada di sana.
Sudah setengah perjalanan juga mereka tempuh. Gibran dan Fatimah berharap Jennie ada di sana. Jika benar, Gibran akan mempertimbangkan kedekatan anaknya dengan Dadang.
Gibran tahu, ternyata Dadang memiliki perkerjaan lain selain menjadi ojol. Ia tahu Dadang juga sudah berusaha. Hatinya mulai merasa iba.
Gibran tidak mungkin akan memaksa Jennie menjauhi pria itu karena ia tahu, bagaimana perasaannya jika kita dilarang berdekatan dengan orang yang kita cintai.
Namun, Gibran belum sepenuhnya percaya pada pria itu. Cara pria itu mendekati anaknya yang salah dan membuatnya tidak dapat percaya. Seharusnya Dadang mendekati kedua orang tuanya dulu baru anaknya.
Ah, sudahlah. Jikalau memang Jennie kabur karena paksaannya maka Gibran akan mulai menyerahkan keputusan di tangan anaknya saja. Ia tidak akan memaksa bila memang itu mempersulit keadaan.
Mungkin aku perlu menemui dan mencoba membicarakan hal itu. Aku harap ojol itu adalah orang yang memang tepat untuknya.
***
"Jen, kamu enggak pa-pa, kan? Ada yang lecet?" tanya Raden dengan nada cemas, ia melirik Jennie sekilas sebelum kembali fokus ke depan, mengendarai mobil.
Jennie yang di sebelahnya mengangguk lesu, ia melirik pergelangan tangan yang memerah, mungkin ini efek ikatan tali tambang tadi. Jennie menoleh ke samping, tepatnya ke Raden.
"Kenapa lo selametin gue?" tanyanya dengan kerutan di dahi.
Raden menarik kedua sudut bibir yang memar akibat ulah Karim tadi. Dia menoleh dan Jennie mendapati senyum manis itu.
"Karena kamu adik aku," jawabnya enteng kemudian terkekeh geli.
Jennie memandang ke depan. Apa benar? Raden telah berubah sepenuhnya? Kenapa hati kecilnya merasa kurang percaya? Apa karena ia belum sepenuhnya memaafkan cowok itu?
"Kok lo bisa tahu keberadaan gue? Kok lo tahu gue diculik?" tanya Jennie dan kembali menyoroti Raden dengan tatapan intimidasi.
"Aku ngikutin kamu dari belakang. Maaf, enggak langsung nyelamatin soalnya tadi ada macet dan mobilku kehabisan bensin di tengah jalan, untung aku hapal nomor plat mobil travel jadi-jadian itu. Jadinya tahu deh kamu diculik."
Jennie mengangguk paham dan kembali memandang depan. Masuk akal juga, sih. "Mungkin lo bisa dipercaya." Ia sedikit menyunggingkan senyum. Ia tahu, Raden adalah kakak tirinya, dari dulu ia berharap memiliki seorang abang untuk ia ajak pergi ke sana-kemari dan mereka selalu menghabiskan waktu bersama.
Mungkin itu akan terwujud sekarang karena ada Raden. Jennie melirik Raden, cowok itu lumayan juga, rambutnya bolehlah dijadikan lampiasan Jennie kalau ia gabut bisa ia acak-acak dan jambak.
Tunggu! Apa ini Jennie? Mudahnya kamu percaya sama dia hanya karena tutur kata dan perubahan penampilannya? Jennie menggeleng.
Perut Jennie bersuara, ia lapar. Matanya menengok ke Raden berharap cowok itu peka karena suara lapar ini tidak mungkin tidak terdengar.
Diam saja, cowok itu berlagak tak tahu apa-apa. Raut wajahnya juga serius menyetir. Oke, sabar, Jen, mungkin perlu menunggu.
Lima menit, tidak ada perubahan, dia masih saja diam. Jennie mengembuskan napas jengah, ia membuang pandangan ke luar jendela mobil.
Perlahan laju mobil memelan kemudian berakhir terparkir di depan sebuah minimarket. Jennie menoleh ke Raden dengan kernyitan di dahi.
"Apa?" tanya Raden seraya mengangkat kedua alis, sebelum Jennie menjawab Raden langsung memberikan uang kertas berwarna biru tua padanya. "Nih, cukup, kan? Sana, beli roti buat ganjel." Dia tersenyum.
Jennie menatap uang kertas itu di telapak tangan kanan kemudian mendongak, menatap Raden.
"Lo nyuruh gue beli roti habis itu lo tinggalin gue di sini, kan? Jahat, ya! Biar gue kayak orang stres gitu di sini? Biar gue disuruh pulang sendirian gitu? Bi--heh! Gue belum siap ngomong! Den! Den!" Jennie menggerutu saat ucapannya belum siap, tetapi cowok itu malah pergi setelah merebut uang kertas itu di tangannya.
Gadis itu membuang pandangan lagi, ia melihat GPS di mobil yang mengarah ke lokasi Bogor, tepatnya rumahnya. Kepalanya sakit, sehingga ia perlu mengurut pelipis untuk mengurangi rasa sakitnya.
Tak lama, pintu sampingnya terbuka dan kursi itu terdengar sedikit bersuara. Seplastik hitam berukuran sedang yang menggembung itu tersodor di depannya. Ini yang Jennie mau, ia sebenarnya percaya pada Raden bahwa cowok itu tidak akan meninggalkan dirinya, hanya saja ia malas keluar mobil dan berjalan ke minimarket.
Gadis itu langsung merebut plastik yang penuh dengan isian roti bungkus berbagai macam rasa dan ukuran. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga terciptalah senyum lebar.
"Makasih," kata Jennie tulus dan menatap Raden yang dibalas senyuman oleh cowok itu. "Maaf udah salah paham sama lo."
"Iya, enggak pa-pa. Wajar, sih, melupakan masa lalu itu sulit, aku aja masih intropeksi diri," jawab Raden dan mulai melajukan mobil.
Jennie mengangguk dan memandang ke depan seraya memakan roti yang sudah ia buka bungkusnya. "Tahu enggak, sih? Gue dari dulu demenin abang. Kenapa, sih, dulu lo enggak bilang kalo lo itu abang gue? Kenapa lo jahatin gue?" tanyanya.
Raden menghela napas. Jujur ia berat mengatakannya, tetapi Jennie harus tahu, seberapa kecewa dan marahnya ia. "Karena dulu aku ngerasa ayah kamu adalah orang yang jahat dan aku mau balas kejahatan dia dengan cara nyakitin ke anaknya, tapi karena aku terlalu kekanak-kanakan dan terlalu mendendam akhirnya semua orang kujadikan lampiasan."
Raden tersenyum kecut. "Seharusnya aku senang, aku punya banyak saudara, seharusnya aku tidak mendendam kalau saja ayahmu segera mendatangi kami dan memberitahukan semuanya agar kami tidak terlalu sekecewa ini!" Suaranya memang pelan, tetapi penuh tekanan. "Aku belum bisa maafin kelakuan ayahmu, berat banget, makannya aku bertindak kasar juga tidak kenal dengan keluarga kalian."
Jennie yang semula semangat mengunyah roti kini mulai melemah saat menyadari cengkraman tangan Raden di stir menguat.
"Gue dan sekeluarga minta maaf, Den. Gue yakin lo berat buat maafin, tapi mungkin untuk menembus kesalahan papa gue, ada yang bisa kami bantu?" tanya Jennie hati-hati. Gadis itu tersentuh mendengar kisah Raden, ia bersyukur hidupnya tidak sekecewa itu.
Membayangkan sejak kecil Raden tidak mendapati kasih sayang dari keluarganya membuat hatinya ikutan sakit. Memang benar, perempuan perasaannya sangat besar ketimbang akalnya.
"Apa aku bisa tinggal sama kalian? Masih bisa? Apa kamu bisa?" tanya Raden penuh harap. Semoga ia diterima, karena itu yang dia inginkan.
Jennie menunduk, tercipta hening di antara mereka. Bisakah ia? Apakah setelah Raden ada di rumahnya, kasih sayang orang tuanya pada Jennie akan semakin terkikis? Di rumah adiknya sudah empat, bila ditambah Raden, apakah kasih sayang orang tuanya akan habis untuknya?
Sudahlah, Jen, jangan egois! Sedari kecil kamu mendapatkan kasih sayang dari orang tuamu! Biarlah Raden merasakannya juga, kasihan ia dan masalah akan selesai. Apakah kamu tidak ingin hidup damai, tentram, nyaman dan aman?
Jennie tersenyum, ia menoleh. "Bisa kok. Gue seneng, lo bakalan jadi abang gue."
Raden mengembuskan napas lega, untunglah semudah ini. "Apa kamu beneran?" tanyanya.
"Kenapa enggak? Lagipula, gue udah dapet kasih sayang dari keluarga sejak gue kecil dan gue juga mau lo ngerasain disayang keluarga, Den." Jennie mengangguk yakin.
Raden menoleh sekilas. "Makasih banyak. Aku kira bakalan susah buat gabung ke keluargamu."
Jennie terkekeh. "Ternyata mendamai itu beneran indah. Gue pingin otak gue istirahat dulu sama konflik berat, gue ngerasa tubuh enggak vit setiap dapet masalah."
Rayan mengangguk. Akhirnya! Tapi yang jadi masalah, gue belum punya rencana kedua buat si Clara.
***
Jangan lupa vote^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
UmorismoTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...