Setelah melaksanakan salat isya, Jennie segera melepas mukenah dan menyusul Fitri yang baru saja melintasinya untuk turun meninggalkan masjid.
Mendapati seseorang seperti berjalan di sampingnya, Fitri pun menoleh. "Eh, Jena, ya?" tanyanya dengan senyum mengembang.
Jennie memutar bola mata. "Bukan Jena."
"Owh, Jessi?"
"Bukan juga," kata Jennie dengan nada malas.
"Apa jangan-jangan Jani?"
"Enggak juga! Nam--" Bibir Jennie ditempel oleh telunjuk Fitri hingga menghentikan ucapannya.
"Sssst! Bentar, Fitri inget kok. Namamu itu ... Jule ... Juleha, ya, kan?" Fitri masih belum menyerah dalam menebak nama gadis di depannya ini.
Jennie menggeleng, menempis jari Fitri dan membuka mulut hendak meralat semuanya, tetapi ia urungkan saat matanya menangkap sosok sang papa berdiri di depan mobil bersama seorang cowok. "Nama gue ...."
Gadis itu cukup syok saat memerhatikan interaksi kedua pria itu yang tampak sangat akrab. Ada apa ini?
"Raden?" ucap Jennie tanpa mengalihkan pandangan dari sang papa dan cowok itu membuat Fitri yang mendengar menjadi bingung.
"Apa? Raden? Masa' nama cewek Raden? Enggak cocok tahu! Nama kamu itu awalnya dari J. Fitri tahu kok!"
Jennie menoleh terkejut saat mendengar suara Fitri yang tiba-tiba. "Ck! Liat itu! Raden!" Tangan kanannya menunjuk ke depan, tepatnya di parkiran sebelah kiri sejauh 10 meter dari sini.
Fitri mengikuti arah tunjuk Jennie kemudian ber'oh ria sebelum dahinya kembali mengerut. "Raden nama bapakmu? Atau cowok yang sama bapakmu?"
Rahang Jennie mengeras. Segera menghampiri kedua pria itu dan meninggalkan Fitri dengan ocehannya.
Saat sampai di antara kedua pria itu, Jennie langsung menarik sang papa menjauh dari Raden.
"Loh? Jennie? Kamu ..." Ucapan Gibran terpotong oleh pertanyaan Jennie.
"Ngapain, Papa, sama dia? Dia, kan, jahat?"
Gibran menggeleng. "Dia udah tobat. Coba liat penampilannya sekarang." Pria itu menunjuk Raden dengan dagunya.
Jennie melirik Raden sekilas kemudian mendengkus tak suka. "Pah! Penampilan itu bisa menipu, kalau ternyata dia pura-pura gimana, Pah? Kayak waktu lalu?" Gadis itu mengguncang lengan kanan sang papa, berusaha menyadarkannya.
Gibran terkekeh, dia menoleh ke Raden. "Nak Raden."
Jennie melotot tidak terima. Apa-apaan papanya ini? Tidak sadarkah siapa orang yang dipanggil 'nak' olehnya? "Papa!"
Raden menoleh lalu tersenyum dengan sangat manis. "Hmm, iya, Pa?" tanyanya dengan santai lalu melirik Jennie.
Jennie membuka mulut, begitu syok dengan semua ini. "Papa? Lo manggil papa gue dengan sebutan itu? Lo enggak berhak se**n!" makinya seraya menunjuk cowok itu.
Gibran langsung menarik tangan Jennie dan menyentaknya. "Jennie, jaga ucapan kamu, ya!" bentaknya yang dibalas dengusan kasar oleh gadis itu. "Sudah! Masuk mobil sana!"
"Tap--"
"Masuk, Je!"
"Argh! Sialan!" umpat Jennie seraya berjalan masuk ke mobil dengan hentakkan kaki kesal. Detuman pintu mobil yang terdengar keras membuat Gibran menghela napas.
"Dia emang gitu. Anaknya keras dan kaku," ucap Gibran yang diangguki oleh Raden.
"Dia masih benci Raden, Pa," kata Raden seraya menunduk. "Raden malu."
"Alah! Bullshit! Malu pala lo! Enggak usah percaya, Pa, dia itu cuma jago membual doang!" Dari dalam mobil Jennie menimbrung seraya menatap tajam Raden.
"Tutup kaca jendelanya, Jen! Diem aja kamu!" sentak Gibran memelototinya.
"Sebenarnya anak, Papa, itu Jennie apa dia, sih?" tanya Jennie dengan tatapan kesal.
"Kamu dan dia. Dia itu anak pertama papa sama istri pertama dulu."
Jennie terdiam, iya, dia ingat. Bundanya pernah bilang, ah, lebih tepatnya cerita bahwa dulu papanya memiliki anak pertama. Jadi ... Raden adalah kakaknya?
Perlahan, Jennie menutup kaca jendela dan termenung dengan tatapan kosong menghadap dashboard mobil.
Perubahan sikap Jennie membuat Raden mengernyitkan dahi. "Jennie kenapa, Pa? Kayaknya dia sedih banget kalo tahu Raden saudaranya, ya?" tanyanya dengan menatap Gibran.
Gibran mengangguk. "Dia masih syok. Mungkin enggak nyangka gitu punya kakak kayak kamu."
"Kayak Raden gimana, Pa?" Raden mengangkat satu alis dengan sedikit tersinggung.
"Hm, yah. Maksudnya, dia masih belum percaya kalo selama ini anak laki-laki di sekolahnya yang sering dia ajak berantem adalah kakaknya sendiri."
Raden ber'oh ria kemudian mengangguk-angguk paham. "Hmm, yaudah, Pa. Raden mau pulang."
"Pulang? Kamu punya rumah sendiri?"
Raden tersenyum lebar lalu terkekeh. "Iya, rumah almarhum mama. Yaudah, assalamualaikum, Pa."
"Waalaikumsalam. Hati-hati."
***
Kakinya melangkah panjang dengan santai, rambutnya dibiarkan acak-acakan, wangi parfum maskulin menguar di tubuhnya membuat beberapa wanita datang menghampiri dan menggelayutinya seperti kuman.
"Awas!" sentak lelaki itu dengan ketus pada para wanita bertubuh seksi tersebut. "Gue lagi enggak napsu anj**g!" sentaknya lagi saat ada seorang wanita yang nekat berjalan beriringan seraya menempelkan payudara itu pada lengan kanannya.
Lelaki itu menyapu ruangan dengan tatapannya seolah mencari seseorang. Dan ia menemukannya berada di meja bar sembari meminum alkohol bersama seorang pria. Ia pun melangkah mendekat.
"Cla," sapa lelaki itu pada wanita berambut pendek dan bersemir hijau di ujungnya. Wanita itu menoleh dan langsung berdiri ketika tahu siapa yang memanggilnya.
"Raden? Iya, kenapa?" tanya Clara.
Raden menarik pinggang Clara hingga tubuh bagian depan mereka menempel. Tatapan cowok itu menghujam ke pria yang bersama Clara tadi hingga membuatnya pergi dari sana.
Bibir Raden mendekat ke telinga kiri Clara lalu membisikkan sesuatu. "Rencana kita ubah."
Clara mengernyitkan dahi, balas berbisik. "Kenapa? Tapi tujuannya masih sama, kan?"
Raden mengangguk, mendekap Clara sambil berkata. "Lo dapet dia dan gue dapetin keluarga gue."
Kepala wanita itu menyender pada dada bidang Raden hingga membuatnya nyaman. Meraba dada sebelah kanan cowok itu lalu mendongak. "Lo yakin mau jauhi Jennie? Kalo lo jauhi otomatis lo enggak akan diterima di keluarganya, terutama papanya."
Raden mengangguk. "Makannya mau gue ubah rencananya. Ayok, ke ruang karaoke."
Wanita itu tersenyum miring, mengeluarkan bungkusan kecil berisikan bubuk putih yang ia ambil dari sela-sela payudaranya. "Mari nikmati malam ini."
***
Apa, sih, tujuan antagonis ini? Penasaran enggak? Ikuti alurnya, ya! Jangan lupa vote dan komen yau^^
Lopyu:"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aplikasi Cinta ( Other ) ✔✔
UmorismoTAMAT _Follow akun ini dulu_ "Kang? Apa kamu sanggup?" "Kenapa enggak?" "Hubungan kita enggak direstui ...." "Cinta perlu perjuangan. Itulah tantangannya agar cinta kita lebih berasa, Jennie Dinawanti." *** Aplikasi inilah yang menyatukan cinta mere...