Bab 5: Permintaan Umi

1.5K 120 11
                                    

Adhim baru selesai melakukan workout di apartemen yang ditinggalinya saat sebuah pesan masuk ke dalam ponsel canggih yang ia letakkan di atas salah satu meja sudut ruangan.

Adhim melepas sarung tangan tinju yang baru ia gunakan untuk memukuli samsak tinju warna hitam yang menggantung di tengah ruang olahraga itu lantas menenggak air mineralnya setelah pergi mencari tempat duduk.

Laki-laki berambut gondrong yang rambutnya kali ini tampak diikat menggunakan karet itu menyeka keringat yang ada di wajah, leher, dan lengannya dengan handuk kecil lalu meraih ponselnya dari meja dan menyalakannya.

Sebuah pesan singkat datang dari saudara sepupunya, Shodiq Emir Bahauddin. Putra pakdenya yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya.

Cak Shodiq:
Gus Fatih hari ini stay di ndalem.

Laki-laki itu menghela napasnya setelah membaca pesan itu. Tidak berniat membalasnya.

Ndalem adalah sebutan lain untuk kediaman kiai, bu nyai beserta keluarganya di sebuah pondok pesantren. Dan yang disebut oleh Shodiq dengan sebutan Gus Fatih di pesan itu adalah putra Kiai Adnan, pengasuh pesantren di mana Shodiq mengabdikan diri sebagai abdi ndalem yang kini ditugaskan sebagai sopir pribadi keluarga ndalem pesantren itu. Fatih sendiri adalah saudara ipar Adhim. Suami Zulfa, adik tersayangnya.

Meski keluarga Adhim memiliki pesantren sendiri di Kediri, Shodiq dan Zulfa sama-sama nyantri di pesantren keluarga Fatih di Jombang sebelum Fatih menikahi Zulfa. Mereka (Fatih dan Zulfa) baru menikah beberapa waktu yang lalu. Adhim pulang ke pesantrennya di Kediri selama acara pernikahan itu berlangsung dan segera kembali ke Bandung setelahnya.

Kembali meraih botol mineral di meja, Adhim memasrahkan tubuhnya bersandar sempurna di tempatnya duduk lalu menenggak habis sisa air mineral dari botol. Ia menghela napas panjang.

"Semoga kamu bahagia, Fa," gumamnya lirih sembari mendongakkan kepala melihat langit-langit ruangan, mendoakan kebahagiaan Zulfa.

Selama ini, Adhim selalu mengawasi Zulfa di mana pun Zulfa berada. Ia selalu menempatkan seseorang yang dipercayainya sebagai mata-mata untuk mengetahui kabar dan keadaannya.

Di sebuah pesantren yang ada di Lamongan saat adiknya itu masih duduk di tingkat menengah pertama, di pesantren keluarga Fatih di Jombang saat adiknya itu berada di tingkat menengah atas hingga lulus namun memilih menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama. Juga sekarang ini---masih di pesantren keluarga Fatih namun dengan status yang berbeda dari santri menjadi menantu.

Adhim tidak pernah melepas pengawasannya dari adiknya itu.

Setelah Zulfa menikah, Shodiq, sepupunya yang sejak lama sudah Adhim percayai untuk mengawasi kehidupan Zulfa sejak adiknya itu menginjakkan kaki untuk pertama kali di Jombang, belakangan selalu mengatakan jika Zulfa tampak kurang bahagia dalam pernikahannya bersama Fatih. Suatu hal yang membuat Adhim merasa khawatir dan terganggu.

Shodiq mengatakan seperti ada kejanggalan dalam pernikahan Zulfa dan Fatih. Untuk ukuran pengantin baru, Fatih sangat jarang berada di ndalem bersama Zulfa dan malah sering menghabiskan waktunya di tempat kerjanya hingga larut malam. Zulfa ditinggal sendirian.

Adhim tentu bertanya-tanya akan hal itu. Apa yang terjadi? Pernikahan adiknya baik-baik saja bukan? Dan pertanyaannya yang paling mendasar adalah apakah Zulfanya bahagia? Sebab sampai nyaris dua puluh empat tahun usianya, kebahagian Zulfa yang masih terus menjadi prioritas dan tujuan utama hidup Adhim. Ia tidak peduli dengan kehidupannya sendiri. Hanya Zulfa yang Adhim pikirkan. Selama Zulfa bahagia, maka Adhim juga bahagia.

Hari ini Minggu. Jam berbentuk bundar yang ada di dinding ruang olahraga sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi ketika Adhim meliriknya. Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya dan membawa tungkai kakinya melangkah ke kamarnya yang ada di sisi lain apartemen.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang