Bab 67: Pilihan Pelita

1K 108 13
                                    

"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."

Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang.

"Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.

Perempuan itu kini mengusap perut besarnya.

"Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."

Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-katanya.

Sekali lagi, Pelita pun menghapus cairan larikma yang jatuh di kedua belah pipinya kemudian bangkit dari posisi duduknya di ranjang kamar, setelah memastikan ponsel, dompet, dan barang yang akan dibawanya sudah masuk ke dalam tasnya semua.

"Kak Adhim, sekali lagi maafin saya. Saya jadi istri yang buruk karena pergi dari rumah tanpa bilang Kakak apalagi minta izin sama Kakak," gumam Pelita lirih kemudian keluar dari pintu apartemen.

Jam di pergelangan tangannya pukul 16.45 WIB. Untung ia sudah salat Asar di musala kampus.

****

Setelah menempuh perjalanan darat selama 3 jam lebih menggunakan BMW putih miliknya, Pelita akhirnya sampai di kawasan perumahan dimana rumahnya berada.

Jakarta masih macet luar biasa. Entah, berapa menit yang harus Pelita habiskan untuk berhenti ketika terjebak macet tadi. Namun, kini jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 20.53 WIB. Ia menjamak salat Magrib dan Isyanya pada waktu Magrib tadi di perjalanan.

Pelita menghentikan mobilnya di depan rumah dan menatap bangunan besar super megah di depannya itu.

Itu rumahnya. Tempat Pelita menghabiskan sepuluh tahun lebih waktu hidupnya bersama keluarga yang sangat dicintainya.

Tidak lama, seorang security menghampiri mobil Pelita dan mengetuk kaca mobil sebelah kanannya. Pelita pun menurunkan kaca mobil dan menatap security itu.

"Non-Non Pelita?" Petugas keamanan itu tampak terkejut melihatnya.

Pelita tersenyum sekilas ke arahnya. "Bisa tolong buka gerbangnya, Pak?" katanya lirih yang langsung dituruti laki-laki paruh baya yang sejak lama sudah menjadi security di kediamannya itu.

"Ba-baik, Non." Laki-laki itu masih benar-benar terkejut melihat Pelita.

"Terima kasih, Pak Heru," ucap Pelita ketika menghentikan mobilnya sebentar sejajar dengan security paruh bayu itu saat memasuki gerbang rumah yang sudah terbuka.

Security bernama Pak Heru itu langsung membungkukkan badan memberi gestur hormat.

Kini Pelita sudah memarkirkan mobilnya di tempat parkir luar rumah yang tersedia. Tangannya masih bertengger di stir kemudi saat kemudian napasnya terhela beberapa kali. Tangan kanannya kemudian bergerak turun mengusap permukaan perutnya sambil menunduk.

"Kita harus kuat ya, Dek," bisiknya.

Tidak berselang lama, sebuah mobil kembali masuk ke dalam halaman rumah itu. Pelita mengulas senyum tipis lalu melepas sabuk pengamannya dan turun dari dalam mobil, mencangklong tasnya yang berisi ponsel dan dompet dan membiarkan tasnya yang berisi pakaian tetap di dalam.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang