Bab 36: Jangan Sebut Anak Haram!

1.2K 132 34
                                    

"Apa maksud Kakak?"

Tercipta jeda.

Pelita menatap sendu laki-laki yang ada di depannya.

Gadis itu masih tidak percaya atas apa yang laki-laki itu katakan kepadanya hingga ia melayangkan tanya seperti itu.

Beberapa saat kemudian, gadis itu menggeleng, "Enggak. Aku nggak akan ngelakuin itu," katanya.

Laki-laki itu menghela napas. "Ini demi kebaikan kamu! Ini demi masa depan kamu!"

Pelita kembali menggeleng. "Aku nggak mau!" katanya keukeuh.

"Denger ..., masa depan kamu masih panjang! Aku nggak akan biarin kamu memiliki anak tanpa suami. Ikutin kata Kakak!"

Pelita menggeleng kuat-kuat di atas ranjang rumah sakitnya. "Nggak," keras kepalanya.

"Pelita ...."

Kali ini seolah ada peringatan dalam suara Leon yang mengudara. Namun, Pelita tetap teguh dengan keputusannya.

"Aku nggak mau!" tukas gadis itu.

Leon mendesah. "Kamu harus ikutin kata Kakak!" ujarnya tak mau kalah. "Ini untuk masa depan kamu. Kamu masih punya masa depan yang cerah, Li ...."

Sekali lagi tercipta jeda.

Setelah sekian detik Pelita tidak bersuara, Leon melanjutkan kalimatnya, "Gugurkan kandungan kamu, Dek!" suruh laki-laki itu penuh nada perintah. "Kalau setelah ini kamu udah nggak mau tinggal di Bandung, ikut Kakak! Kita tinggal di Singapura!" lanjutnya.

Pelita kembali menggelengkan kepalanya. "Bayi ini nggak bersalah, Kak!" pelannya. "Aku nggak mau berbuat dosa dengan gugurin apa yang Allah titipkan sama aku."

"Li." Leon mendesah lagi.

Ia berjalan mendekat sambil menatap lekat-lekat adiknya itu. "Anak itu anak laki-laki yang udah perkosa kamu! Kamu harus gugurin anak itu!"

Untuk ke sekian kali kepala Pelita menggeleng.

"Aku nggak mau, Kak! Aku nggak akan ngelakuin itu," katanya lirih dengan kedua netra yang sudah berembun. "Aku nggak mau jadi pembunuh," lanjutnya sambil menyentuh permukaan perut dan menatapnya.

Iya, memang benar, janin yang tumbuh di dalam kandungannya itu tidak pernah Pelita harapkan. Ia tidak memiliki suami. Dirinya juga memiliki banyak cita-cita yang ingin dikejarnya. Namun Pelita sadar, janin itu tidak berdosa. Janin itu tidak bisa memilih pada rahim siapa Tuhan menciptakannya. Pelita tidak mungkin merampas hak janin itu untuk hidup dan lahir ke dunia.

"Dengerin kata Kakak, Pelita!" ucap Leon selepas memijat pangkal hidungnya yang bagir. "Setelah kamu pulang dari rumah sakit nanti, kita pergi buat gugurin kandungan kamu. Kakak udah dapetin dokter yang bisa ngelakuin itu, Dek! Kakak nggak mau tahu, anak haram itu harus kita singkirkan!"

Kedua manik madu Pelita langsung membola menatap kakaknya. Ia tidak percaya Leon bisa mengatakan semua hal mengerikan itu kepadanya. Terlebih, saat kakaknya itu menyebut janin yang tumbuh di rahimnya sebagai anak haram. Entah kenapa hal itu terdengar sangat menyakitkan.

Perlahan, air mata Pelita langsung mengalir meski tanpa suara.

"Aku nggak mau, Kak," katanya dengan suaranya yang lemah namun penuh penolakan. "Kak Leon nggak bisa maksa aku seperti ini!" Gadis cantik itu menatap kakaknya nanar dan tajam. "Dan anak haram? Kenapa Kak Leon bilang gitu? Anak ini tumbuh di rahim Pelita, Kak. Tolong ... tolong jangan sebut anak ini anak haram! Dia nggak salah. Aku nggak mau gugurin kandunganku."

Leon mengerang kesal, mengacak surai frustasi lantas menatap Pelita lagi.

"Aku nggak mau berdebat sama kamu, Dek," katanya. "Kamu harus dengerin Kakak! Anak itu, kamu harus menggugurkannya!" tukasnya tidak kalah tajam membalas tatapan Pelita.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang