Bab 59: Cinta

1.1K 153 25
                                    

Adhim Zein A. Hisyam:
Pelita, sudah pulang?

Pelita baru masuk ke dalam apartemennya ketika ia melihat pesan singkat dari Adhim yang baru saja laki-laki itu kirim.

Adhim Zein A. Hisyam:
Maaf saya belum bisa pulang
Ada urusan mendesak di bengkel

Pelita menghela napas ketika Adhim mengiriminya pesan lagi.

Setelah lulus ujian skripsi, Adhim fokus membuka usahanya. Selain mengembangkan bisnis kerajinan gelang yang sudah dirintisnya, laki-laki tinggi berambut gondrong itu memutuskan untuk membuka bengkel.

Teman-temannya klub motor pun dengan senang hati membantu Adhim. Jadi pundi-pundi uang Adhim semakin bertambah.

Semula sumber uang Adhim hanya berasal dari tambak ikan pemberian orang tuanya yang ada di Gresik. Semua saudaranya juga memiliki tambak sendiri-sendiri sama dengannya atas pemberian orang tuanya. Selain itu, Abah dan Uminya juga masih selalu memberinya uang selama masih kuliah. Belum lagi laba yang diperolehnya dari investasi kecil-kecilan di warung Abah Suta temannya dan berjualan kerajinan gelang. Sehingga bisa dibilang, hidup Adhim berkecukupan.

Dari investasi di warung Abah Suta dan berjualan gelangnya saja ia sudah bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari dan mengurus rumah singgah yang didirikannya bersama anak-anak klub motornya untuk anak jalanan. Dengan serius menjalankan usaha kerajinan gelang sekaligus membuka bengkel, Adhim harap ia bisa menabung lebih untuk masa depan anaknya dan hidup bahagia dengan Pelita.

Ia tahu kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang. Namun dengan memiliki uang yang berkecukupan, ia ingin mewujudkan kebahagiaan itu.

Adhim memiliki cita-cita ingin membeli atau membangun rumah yang berhalaman luas untuk Pelita---entah di daerah mana. Ia berencana meninggalkan apartemennya dan tinggal di rumah yang memiliki halaman luas itu untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya kelak.

"Pak Amir, terima kasih ya, Pak, sudah bantu saya bawa barang belanjaan saya ke atas."

Beralih dari layar ponsel, Pelita mengucapkan terima kasih kepada security apartemennya yang sudah membantunya dan Arina membawa barang-barang belanjaannya masuk ke dalam apartemen.

"Iya, Neng. Sama-sama," balas bapak-bapak paruh baya dengan tubuh gempal dan kumis lebat itu. "Kalau gitu saya pamit dulu ya, Neng," kemudian pamitnya.

"Tunggu dulu, Pak," cegah Pelita lalu segera mengambil selembar uang dari dalam dompet. "Ini, saya ada sedikit uang untuk Bapak mohon jangan ditolak."

Ia menyelipkan uang itu ke tangan Pak Amir dan meminta laki-laki paruh baya itu untuk menerimanya.

"Waduh, ndak usah, Neng. Malah ndak enak saya kalau saya terima. Saya ikhlas lillahi ta'ala bantu Neng Pelita." Pak Amir menolak.

"Saya mohon Pak Amir terima, ya. Saya sedih kalau Bapak nolak pemberian saya."

"Tapi saya bener-bener tulus niat bantu, Neng."

Pelita terus mendesak hingga laki-laki paruh baya itu pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima pemberian Pelita itu.

"Ya udah ya, Lit, aku pamit pulang ke kost dulu," ujar Arina setelah selesai membantu Pelita menaruh barang-barang belanjaannya ke atas meja ruang tengah apartemen.

"Iya. Makasih banyak ya, Rin," ucap Pelita entah untuk ke berapa kali hari ini pada Arina.

"Iya, Pelita ...," balas Arina sembari tersenyum. "Aku pulang, ya." Ia kembali pamit.

"Eh, tunggu. Tapi Kak Adhim mana, ya? Kok sepi." Arina yang sudah berjalan beberapa langkah menuju pintu keluar berbalik dan melempar tanya.

Pelita langsung meringis. "Kak Adhim masih di luar. Katanya ada kepentingan mendesak yang harus diurus di bengkel, Rin."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang