Bab 49: Rasa

1.6K 189 64
                                    

Dua orang dengan pakaian sekenanya itu berbaring nyaman di balik selimut abu-abu yang membalut tubuh nyaris polos mereka setelah pergumulan panjang keduanya.

Yang laki-laki dengan celana boxer hitamnya dan yang perempuan dengan lingerie berwarna merah tua yang sudah kembali terpasang dengan benar di badan molek yang terlihat semakin berisi itu.

Napas keduanya terdengar memburu.

Seperti sebelumnya masih belum ada kata cinta, namun Adhim dan Pelita tidak bisa disebut jarang melakukan hubungan intim selayaknya pasangan suami-istri lain pada umumnya.

Meski dengan perut yang semakin mengembang, Pelita tidak pernah menolak jika diajak melakukan hubungan badan. Sebab Pelita tahu, berhubungan suami-istri umumnya adalah candu bagi mereka yang sudah merasakannya.

Adhim memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Dan sebagai istri, sudah menjadi kewajiban Pelita untuk memenuhinya. Mereka melakukannya suka sama suka.

"Kak Adhim," panggil Pelita lirih setelah napasnya kembali normal seperti biasa.

"Hm." Adhim yang berbaring di sebelah kanan Pelita langsung menyahut dengan gumaman sambil menoleh. "Ada apa?" Bibirnya menyunggingkan senyum.

Mendapati Pelita yang hanya diam dengan wajah hampir tak berekspresi, wajah Adhim langsung berubah cemas.

"Kenapa, Pelita? Apa saya menyakiti kamu?" tanyanya dengan wajah pias dan badan yang menghadap penuh pada istrinya itu.

Meski Adhim merasa yakin sudah melakukannya dengan hati-hati, Adhim tetap takut jika Pelita dan bayinya terluka ataupun kenapa-napa karena dirinya.

"Kamu merasakan sesuatu sama perut kamu?" tanya Adhim lagi.

"Em." Pelita mengangguk pelan. Masih dengan wajahnya yang seperti tadi.

"Apa kita perlu ke dokter? Ayo kita pergi ke rumah sakit, Pelita!"

Adhim hampir bangkit dari posisinya. Namun, tangan Pelita menahannya sambil menggeleng.

"Bayinya, Kak," lirihnya lalu mengarahkan tangan Adhim ke perutnya.

"Kenapa sama bayinya?" sahut Adhim dengan wajah benar-benar khawatir.

"Kak Adhim merasakannya?" tanya Pelita pelan. "Adik bayinya biasanya cuma gerak-gerak, Kak. Tapi barusan, dia nendang perut saya."

Kedua manik kopi Adhim melebar. Baru saja ia juga merasakannya. Ada sebuah tendangan yang cukup kuat dari dalam perut Pelita.

Apakah itu jagoannya?

Keduanya saling berpandangan dengan Adhim yang menghela napas kemudian saling tertawa.

Pelita mengusap-usap permukaan perut besarnya yang kini berusia lima bulan dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya masih memegang tangan kiri Adhim yang juga ada di atas perutnya.

"Boleh saya dengerin gerakannya?" tanya Adhim meminta izin.

"Em. Tentu, Kak Adhim. Berhenti selalu minta izin!" tawanya.

Adhim kemudian mendekatkan kepalanya ke arah perut Pelita dan menempelkan telinganya di sana.

"Jagoan Ayah sudah semakin pintar."

Laki-laki berambut gondrong itu mendaratkan ciuman singkat di permukaan perut berlapis lingerie berwarna merah tua itu.

Pelita tersenyum. Meski Adhim mungkin tidak memiliki perasaan apa-apa kepadanya. Namun setidaknya, laki-laki itu menyanyangi bayi yang ada di dalam kandungannya.

Pelita tidak perlu khawatir jika anaknya nanti akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya.

"Kak," panggil Pelita masih dengan suaranya yang pelan.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang