Bab 22: Secercah Harapan

964 97 3
                                    

"Hoek hoek hoek."

Suara perempuan muntah itu berasal dari sebuah kamar mandi apartemen yang terletak di bagian dapur.

Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Saat memasak untuk sarapan, Pelita tiba-tiba merasa sangat mual yang memaksanya berlari ke arah kamar mandi terdekat untuk memuntahkan isi perutnya setelah mematikan kompor listriknya yang tengah menggoreng telur mata sapi dengan minyak zaitun di atas wajan teflon.

Perut gadis itu terasa bergejolak seperti dikocok. Namun, saat Pelita memuntahkan isi perutnya, hanya cairan berwarna bening yang keluar. Ia membasuh mulut untuk menghilangkan bekas muntahannya yang hanya berupa zat cair itu lantas berkumur agar rasa pahit yang dirasakan indra perasanya pudar.

Seketika saja gadis itu diliputi ketakutan. Pelita ingat kembali akan siklus datang bulannya yang terlambat datang sampai sekarang dan alat pemeriksa kehamilan yang digunakannya semalam. Tanpa berpikir panjang, ia kemudian berjalan cepat menaiki tangga untuk sampai di kamarnya.

Pelita langsung masuk ke dalam kamar mandi setibanya ia di sana, menunduk untuk meraih testpack yang dilemparnya ke tempat sampah semalam dan melihat hasil yang ditunjukkannya. Meski hanya sebentar, Pelita sudah sempat mencelupkan benda kecil itu ke dalam air seni miliknya. Jadi siapa tahu, benda itu bekerja dan tetap bisa menunjukkan hasilnya.

Gadis itu menarik napas panjang sebelum melihat benda berbentuk persegi panjang itu.

Jantungnya berdebar hebat. Dan saat Pelita melihat garis yang ditunjukkan alat pemeriksa kehamilannya, seketika saja Pelita langsung menghela napasnya.

Gadis itu langsung menangis.

Satu garis.

Itu berarti dirinya tidak hamil.

Pelita sangat bersyukur dan lega karena melihatnya. Semuanya memang pasti akan baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu Pelita khawatirkan tentang malam itu.

****

"Kapan lo pulang ke Indo? Kesian adek gue, nggak ada yang nemenin."

June tersenyum simpul mendengar pertanyaan yang baru saja dilemparkan Leon kepadanya.

Bersama Leon, laki-laki jangkung itu sedang berolahraga pagi dengan lari mengitari jalanan komplek perumahan yang ditinggali Leon di Singapura.

Keduanya lari bersisian dengan Leon yang mengenakan kaus lengan pendek berwarna abu-abu tua dan June yang memakai kaus tanpa lengan berwarna hitam dengan celana pendek yang sama-sama berwarna hitam dan sneakers putih.

Di belakang keduanya, laki-laki tinggi bertubuh besar mengikuti mereka dari jarak lima meter yang tidak lain adalah Jhonson, pengawal setia Leon. Laki-laki itu juga mengenakan outfit untuk olahraga berupa celana jogger dan jaket putih dengan tudung yang menutup kepalanya. Sepatu berwarna senada terbalut di kedua kakinya.

"Mungkin seminggu lagi, Yon," balas June terus berlari pendek sembari menoleh ke arah Leon yang ada di sisinya, "atau dua minggu lagi, gue nggak tahu. Masih bingung." Laki-laki itu kembali menatap lurus ke arah depan.

"Hm." Leon mengangguk. "Terserah lo sih. Gue paham kalo lo kangen berat sama gue, makanya gak mau segera balik ha ha," lanjutnya lantas tertawa. June pun menyunggingkan senyum manisnya mendengarnya.

"Ngomong-ngomong, gimana kuliah lo? Masih berniat lulus bareng Pelita?" tanya Leon sembari membuka botol airnya untuk minum.

Setelah berlari cukup lama, keduanya memutuskan beristirahat sejenak di sebuah bangku kayu tepi jalan dan menenggak air mineral masing-masing.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang