Bab 54: Nestapa

1.4K 187 70
                                    

"Ya Allah Gusti. Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullahaladhim .... Astaghfirullah .... Astaghfirullah .... Bagaimana semua ini bisa terjadi, Nak? Ya Allah .... Adhim!"

Nyai Azizah menangis keras di depan putranya sambil berkali-kali mengucap istigfar.

Apa yang sebenarnya terjadi, Adhim telah menceritakan semuanya.

"Ampuni Adhim, Umi. Maafkan Adhim," ucap Adhim sambil berusaha meraih kedua tangan uminya.

Laki-laki itu bersimpuh di depan sang umi yang duduk di tepi ranjang kamar.

Setelah mendengar semua cerita Adhim di ruang tamu, Nyai Azizah yang sangat terkejut langsung pergi ke kamarnya tanpa merespons apa-apa dengan kedua netra yang bercucuran larikma.

Adhim pun langsung menyusul untuk meminta maaf hingga sang umi menangis keras sambil mengucapkan istigfar berkali-kali seperti tadi.

"Kulo telah berbuat dosa besar, Mi. Kulo benar-benar menyesali perbuatan terkutuk itu. Tolong Umi mau memaafkan Adhim." Adhim yang bersimpuh menunduk dalam-dalam di pangkuan Nyai Azizah.

"Adhim ...," risik Nyai Azizah larat di sela-sela tangis. "Abah dan Umi hanya ingin yang terbaik untuk putra kami, Le. Karena itu, Umi mengenalkan putri-putri kiai terbaik yang ada kepadamu, supaya kamu bisa berjodoh dengan salah satu di antara mereka. Meski kamu bukan putra pertama Abah dan Umi, kamu juga memiliki kewajiban yang sama untuk mengasuh dan mengembangkan pesantren kita sama seperti Masmu, Alim. Harapan besar Abah dan Umi ada pada kalian. Karena jika bukan kalian berdua, siapa lagi yang akan mengurus pesantren kita? Tapi kenapa, Le?" Nyai Azizah terisak-isak. "Tapi kenapa semua jadi seperti ini? Ya Allah ...."

Adhim mengangkat kepalanya dan mendongak menatap wajah sang umi.

"Maafkan Adhim," pintanya sungguh-sungguh sambil menggenggam kedua tangan Nyai Azizah erat.

Nyai Azizah menghela napas. "Umi butuh waktu, Le," jawabnya tak lama kemudian. "Umi masih belum bisa menerima semua ini. Dan abahmu, abahmu pasti akan sangat terkejut jika sudah pulang dari mulang nanti ketika tahu semuanya."

Adhim diam sembari terus menatap wajah uminya yang tak lagi muda.

Nyata ada raut kesedian dan kekecewaan yang mendalam di sana. Dada Adhim terasa sangat sesak melihat ekspresi wajah wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya itu.

"Adhim benar-benar meminta maaf, Umi. Kulo siap menerima hukuman apa pun yang Abah dan Umi berikan karena dosa besar yang Adhim lakukan."

Mendengar itu, Nyai Azizah mendongak sembari memejamkan kedua mata dengan air mata yang terus mengalir.

"Pelita adalah perempuan baik," lirih Adhim sambil terus menatap Nyai Azizah. "Kulo bersyukur, perempuan seperti Pelita bersedia menjadi pasangan hidup kulo setelah apa yang kulo lakukan." Jeda. "Mi, tolong Umi restui dan doakan hubungan kami berdua."

Nyai Azizah membuka pejaman matanya dan menatap ke arah lain. Perempuan itu menghela napas.

"Apakah kamu yakin, Le, anak yang perempuan itu kandung, adalah anakmu?"

Adhim sangat terkejut mendengar itu. "Apa maksud Umi?" tanya Adhim masih dengan nada lembutnya.

Nyai Azizah menghela napasnya lagi. "Umi hanya menanyakan apa yang menjadi keraguan Umi," balasnya. "Perempuan itu ... dia seorang model kan?" lanjutnya lagi dengan pertanyaan.

Adhim masih menatap uminya sambil diam. Masih terkejut dan bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ingin sang umi katakan kepadanya.

"Apakah kamu benar-benar harus menikahinya, Le ...?" desis Nyai Azizah lagi. "Umi tahu, kamu sangat menyayangi dan mencintai adikmu, Zulfa. Tapi apakah kamu harus menikahi seorang perempuan yang belum jelas asal-usulnya karena wajahnya yang mirip adik kesayanganmu? Kalian bahkan tidak saling mengenal, Adhim ...."

Adhim benar-benar sangat terkejut. "Umi," bisiknya, "Apa yang Umi maksud?" Adhim meminta atensi Nyai Azizah lagi.

"Umi tahu, Le. Kamu punya keinginan menikah dengan seseorang yang seperti adikmu. Umi tahu," balas Nyai Azizah. "Tapi mengapa dengan perempuan asing itu? Perempuan yang baru kamu kenal. Wajahnya mungkin mirip Zulfa. Tapi dia bukan Zulfa, Le! Dan putri Umi tentu tidak sama dengan perempuan itu. Masih banyak perempuan lain yang jauh lebih baik untuk menjadi pendamping hidupmu."

Kini Adhim menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

"Umi ...," lirih laki-laki berambut gondrong itu larat.

"Kenapa Umi bicara seperti itu?" tanyanya benar-benar lembut namun menyiratkan nada menuntut. "Pelita sudah menjadi istri Adhim, Mi. Insyaallah tidak lama lagi kami juga akan memiliki seorang putra. Mengapa Umi bicara seperti itu mengenai pernikahan kami berdua?" Adhim yang tidak kuasa membendung cairan di matanya meneteskan air mata.

Nyai Azizah terisak-isak menatap putranya.

Di depan pintu kamar, tanpa sepengetahuan keduanya ada Pelita yang sejak tadi mendegar semuanya. Perempuan itu memeluk erat perut besarnya dengan cairan larikma yang deras membasah di pipi.

Merasa tidak kuasa mendegar percakapan lebih lanjut antara Adhim dan uminya lagi, Pelita memutuskan untuk membawa langkah kakinya pergi.

Tepat beberapa sekon setelah itu, Adhim kembali bersuara.

"Umi, kulo paham, Umi bicara seperti tadi karena Umi belum mengenal Pelita. Tapi wallahi, Mi, Pelita adalah perempuan terbaik yang pernah Adhim kenal untuk menjadi menantu Umi. Bahkan Adhim, Mi, Adhim yang merasa jika Adhimlah yang tidak pantas untuk perempuan seperti Pelita."

Nyai Azizah menangis sesenggukan menatap putranya.

"Adhim ..., Le ..., anakku, sebaik apa perempuan itu?" tanya Nyai Azizah dengan nada kesedihan yang tak terkira. "Kamu mungkin tidur dengannya. Tapi dia seorang model. Bagaimana kalau tidur dengan banyak pria memang menjadi kebiasaannya? Perempuan itu begitu cantik. Bisa jadi, dengan pekerjaannya sebagai model dia juga menjual tubuhnya."

Adhim terus menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu bilang saat kejadian itu kamu setengah tidak sadar kan? Kamu sedang mabuk karena ulah temanmu. Bisa saja, perzinaan itu tidak pernah terjadi, Le! Bisa saja perempuan itu menjebakmu! Bisa saja, anak yang sedang perempuan itu kandung adalah anak orang lain. Kamu bisa menceraikannya dan menikah dengan perempuan baik-baik pilihan Umi."

Adhim beristighfar, "Astaghfirullahaladhim. Tidak seperti itu, Mi," bantah Adhim dengan suara yang tetap lembut.

"Pelita perempuan baik-baik. Dia bersih dari apa yang Umi duga. Kulo-lah satu-satunya pendosa, Mi. Bukan sekedar berzina, Adhim yang memaksakan kehendak Adhim kepada Pelita. Dia Adhim perkosa." Dada Adhim terasa semakin penuh dan sesak menatap uminya.

"Kalau Umi tahu, Adhim menemukan darah kewanitaan Pelita di kemaluan Adhim saat kulo bangun pagi itu," lanjut Adhim. "Pelita tidak ada. Dia tidak menuntut apa-apa dari kulo. Adhim yang mencarinya, Mi. Saat bertemu, Pelita malah berpura-pura tidak mengenali Adhim dan meminta kulo melupakan semuanya. Padahal jika mau, Pelita bisa langsung menjebloskan Adhim ke penjara saat itu juga dan membuat Adhim mendapatkan hukuman sosial yang berat dari masyarakat. Tapi Pelita tidak melakukan itu. Saat keluarga dan temannya tahu, Pelita juga malah mencegah keluarga dan temannya memberi Adhim hukuman seperti yang seharusnya. Adhim tidak akan melepaskan perempuan sebaik Pelita, meski Adhim sadar jika Adhim sama sekali bukan laki-laki yang pantas untuknya."

Nyai Azizah yang terus menangis lantas meraih sisi-sisi wajah Adhim dengan kedua tangannya yang sudah berkeriput lalu membelainya. "Adhim, anakku ... kenapa semuanya jadi begini?"

Adhim menggenggam kedua tangan uminya lantas berkali-kali menciuminya sebelum meneggelamkan kepala di pangkuan sang umi. "Maafkan Adhim. Maafkan Adhim."

Tangis Nyai Azizah semakin pecah menjadi lalu sebelah tangannya bergerak mengusap-usap lembut kepala sang putra. Keduanya tenggelam dalam nestapa dan sedu-sedan bersama. []

18/11/2022.

Terima kasiih sudah membaca ❤️
See you when I see you ;)

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang