Bab 64: Kontraksi Palsu

2.2K 175 14
                                    

"Ibu Pelita tidak apa-apa. Masih belum waktunya melahirkan. Kontraksi yang terjadi hanyak kontraksi palsu. Jadi tidak perlu cemas," terang seorang dokter setelah memeriksa keadaan Pelita.

"Benar, Dok? Istri saya tidak apa-apa?" tanya Adhim tampak belum bisa percaya.

Sang dokter pun mengulas senyum. "Benar, Pak," balasnya. "Istri Bapak kemungkinan besar akan melahirkan sesuai HPL."

Adhim langsung melirik Pelita yang duduk memegangi perutnya di samping laki-laki itu.

Pelita terlihat memakai daster tidur biru muda yang dilapisi kardigan rajut oversize warna hitam dan kerudung senada. Sedangkan Adhim, ia memakai celana kain abu-abu dan jaket cokelat yang melapisi kaus putih lengan pendek yang ada di balik jaket kulit itu.

Petunjuk waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika keduanya sampai di rumah sakit karena Pelita yang mengalami kontraksi.

"Jadi, untuk selanjutnya bagaimana, Dok? Istri saya harus dirawat sampai HPL atau bagaimana?" lontar Adhim menyerukan pertanyaan lagi, masih dengan raut khawatir.

"Tidak perlu, Pak. Bapak dan Ibu bisa pulang sampai Bu Pelita benar-benar akan melahirkan baru dibawa ke sini lagi," jawab dokternya itu masih dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Baik, Dok. Terima kasih. Kalau begitu kami pamit dulu," kata Pelita kepada sang dokter yang kemudian membuat Adhim kembali menoleh menatapnya.

"Pelita ...," lirih Adhim masih tampak cemas dan tidak puas akan jawaban dokter.

"Kak Adhim, ayo!" ajak Pelita lantas berdiri terlebih dahulu.

Mau tidak mau Adhim pun turut berdiri.

"Sekali lagi terima kasih ya, Dok. Sampai ketemu lagi. Saya mau Dokter yang nanti membantu persalinan saya."

"Iya, Bu Pelita. Aamiin," balas sang dokter yang berjenis kelamin perempuan itu ikut berdiri dan berjabat tangan dengan Pelita. "Jaga kesehatan ya, Bu," pesannya.

"Iya, Dok. Kami pamit."

Pelita dan Adhim pergi meninggalkan ruangan dokter itu.

****

"Saya kan sudah bilang kalau saya nggak pa-pa, Kak," kata Pelita pada Adhim yang berjalan di samping kanannya, merangkul pinggangnya.

Keduanya kini melangkah pelan di selasar rumah sakit menuju tempat mobilnya terparkir di basement salah satu rumah sakit Kota Bandung itu.

"Saya sudah menyangka kalau yang saya rasain itu cuma kontraksi palsu seperti yang saya bilang ke Kakak sebelum ke sini," kata Pelita lagi. "Kak Adhim sih nggak percaya. HPL adik bayi masih tiga minggu lagi, jadi belum waktunya saya lahiran. Tadi saya cuma perlu chat dokter, bilang kalau lagi ngalemin kontraksi tanpa perlu ke rumah sakit seperti ini, Kak," lanjutnya.

"Iya, Pelita. Maaf. Saya cuma khawatir sama kamu dan anak kita."

Pelita menghela napas kemudian menganggukkan kepala.

"Sekarang bagaimana? Kontraksinya apa masih terasa sakit?" tanya Adhim lagi.

"Nggak, Kak. Saya sudah nggak pa-pa."

Tidak lama keduanya pun sampai di depan mobil BMW Pelita diparkir.

Semenjak kandungan Pelita semakin besar, Adhim tidak pernah menaiki jeep Wranglernya ketika bepergian dengan Pelita.

Alih-alih menggunakan kendaraan beroda empat dengan ukuran roda yang lebih besar daripada mobil pada umumnya itu, Adhim memilih menggunakan mobil istrinya saja karena tidak ingin Pelita merasa kurang nyaman jika menaiki mobilnya. Apalagi menaiki motor gedenya yang bisa jadi malah tidak aman untuk dikendarai dengan ibu hamil seperti Pelita.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang