Bab 41: Chaos

1K 152 55
                                    

Menikah.

Di usianya yang sudah dua puluh tahun ini, Pelita tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Ia malah pernah berpikir bahwa dirinya tidak akan menikah untuk selamanya.

Gadis itu berpikir, tidak masalah jika dirinya harus hidup sendiri di dunia. Apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya memberikan pandangan buruk pada Pelita soal keluarga dan pernikahan.

Namun, setelah apa yang terjadi, dan dengan calon bayi yang sedang tumbuh di rahimnya saat ini, Pelita seolah dipaksa untuk memikirkan hal itu kembali.

"Saya mohon menikahlah dengan saya," pinta Adhim yang masih duduk di sisinya, yang pada akhirnya membuat Pelita menatap laki-laki yang menjadi ayah biologis janin yang ada di kandungannya itu dengan wajah berurai air matanya setelah mengalihkan wajahnya sedari tadi.

Pelita menghela napas. "Semua ini nggak mudah buat saya, Kak," sahutnya akhirnya mau bersuara meski pelan. "Kita nggak saling kenal," lanjut gadis itu masih menangis diselingi isakan. "Saya nggak bisa semudah itu memaafkan apa yang Kakak lakukan kepada saya, sekalipun, Kak Adhim melakukannya dengan tidak sengaja."

Air mata Pelita terlihat deras mengalir di kedua belah pipinya.

"Kakak telah melecehkan saya dan mengambil apa yang selama ini saya jaga .... Dan kalau boleh jujur, saya ingin melupakan semua itu. Saya cuma mau menganggap semua itu mimpi dan nggak pernah terjadi."

Adhim diam sembari ikut menghela napasnya yang terasa semakin sesak.

Laki-laki itu paham apa yang Pelita rasakan. Meski sebagai pelaku, Adhim paham bagaimana menderitanya Pelita karena perbuatan bejatnya.

Perbuatan hina dan tak bermoral yang dilakukannya, siapa pun akan sulit memaafkannya. Adhim memahaminya.

"Kak Adhim ...." Tak lama kemudian, Pelita tiba-tiba memanggil nama Adhim.

"Rasanya sakit sekali, Kak," katanya. "Rasanya saya seperti ingin mati. Saya sangat hancur pagi itu. Saya merasa saya sama sekali nggak berharga. Saya ingin mengakhiri hidup saya kalau saja saya nggak ingat Allah sangat membencinya. Saya ingin hilang dari dunia."

Tes

Setitik air mata jatuh dari kelompok mata Adhim mendengar penuturan Pelita.

Laki-laki itu kembali meneteskan air mata yang beberapa waktu lalu sudah jatuh dan dihapusnya tanpa sepengetahuan gadis itu. Namun, air matanya jatuh lagi saat Adhim mendengar bagaimana menderitanya Pelita akibat perbuatannya langsung dari mulut gadis itu sendiri.

"Saya sudah hampir bisa melupakannya." Pelita kembali bersuara. "Tapi kemudian saya bertemu Kak Adhim di kafe Bang Haris. Hari itu ... jujur saya sangat kaget. Saya sama sekali nggak nyangka kalau Kakak adalah narasumber saya. Saya marah, sedih, kecewa, dan terluka. Bertemu Kakak membuat saya teringat akan kejadian di hotel malam itu. Dan saat saya tahu saya hamil, dunia saya rasanya benar-benar runtuh, Kak. Saya merasa kembali hancur, tanpa sisa."

Pelita dan Adhim saling berpandangan lama.

"Saya tidak menyalahkan Kak Adhim setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, maaf ..., saya nggak bisa semudah itu memaafkan apa yang Kakak lakukan. Saya ... saya nggak bisa." Pelita semakin terisak dalam tangisnya.

"Pelita," lirih Adhim. "Saya mengerti," katanya lantas tercipta jeda.

Pelita dan Adhim sama-sama berusaha menguatkan hatinya.

"Terima kasih karena kamu sudah memberi tahu saya apa yang kamu rasakan," kata Adhim beberapa lama kemudian. "Saya sangat menyesal, Pelita," lanjutnya benar-benar menyesali apa yang terjadi di antara mereka. "Meski kamu belum bisa memaafkan saya, saya sangat berterima kasih karena kamu mau bicara dengan saya dan mengatakan semua itu. Saya benar-benar akan melakukan apa saja untuk menebus dosa dan kesalahan saya, Pelita. Apa saja."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang