Bab 37: Melarikan Diri

1.1K 139 33
                                    

Pelita memesan sebuah tiket kereta api menuju Surabaya. Namun, di sinilah sekarang ia berada. Sebuah pelataran rumah bergaya Joglo dengan halaman luas dan tetumbuhan yang rimbun nan asri di sekelilingnya.

Hampir segalanya ada. Pohon mangga, pohon delima, rambutan, sawo kecik, srikaya, nangka, sirsak, bambu, dan masih banyak lagi. Berbagai tumbuhan herbal juga ada di sebelah kanan halaman itu dan bunga-bunga yang cantik mekar di sisi kirinya.

Bau mawar, kenanga, dan melati langsung menyeruak harum di hidung Pelita saat gadis cantik itu membawa kakinya melangkah menyusuri halamannya yang luas setelah turun dari taksi, menuju rumah khas Jawa yang ada di ujung jalan setapak berpaving itu.

Setelah tahun-tahun berganti dan terbang, dirinya pulang.

Saat liburan, Pelita sebenernya sering mampir ke tempat itu sesekali. Namun baru kali ini dirinya merasa kembali.

Pelita memperhatikan sekelilingnya sebelum menaiki undakan tangga menuju teras. Sama sekali tidak ada yang berubah dari rumah itu, rumah masa kecilnya yang tidak lain adalah rumah Opa dan Omanya.

Ya, Pelita kini sedang berada di Yogyakarta. Ia sengaja membeli tiket menuju Surabaya tapi turun di Yogyakarta karena Kota Gudeg itulah yang memang menjadi tujuannya.

Leon dan June mungkin akan sedikit repot melacak keberadaannya nanti. Kedua laki-laki itu tidak mudah Pelita kelabuhi. Namun, berada di Yogyakarta selama beberapa hari mungkin tidak akan menjadi masalah baginya jika orang-orang mengiranya berada di Surabaya karena tiket kereta yang dipesannya. Toh, Pelita memang berniat melarikan diri dari mereka.

Pelita meletakkan kopernya di atas lantai marmer Joglo yang pintu kayu berbahan jati diukirnya itu terbuka lebar.

"Assalamualaikum," ucap salam Pelita kemudian.

Matahari semakin condong ke sebelah barat dan senja mulai menciptakan guratan warna di langit.

Tidak lama, seorang wanita tua dengan kebaya, kerudung tersampir di kepala dan rambut penuh uban menghampiri.

"Wa'alaikumussalam," jawab wanita tua dengan tubuh berisi itu lalu menatap Pelita dari atas kepala ke ujung kaki.

"Nduk, Pelita?" Wanita tua itu langsung memeluk Pelita begitu mengenali cucunya.

"Ya Allah, Nduk. Oma kangen sekali sama kamu. Bagaimana kabarmu, Nduk? Sehat?"

Oma Pelita mengurai pelukannya, melempar tanya sambil memegangi kedua lengan Pelita menatap hangat wajahnya. Kira-kira sudah delapan bulan lamanya wanita tua itu tidak melihat cucunya.

Pelita berusaha tersenyum menatap Omanya. "Alhamdulillah, sehat, Oma."

Oma Pelita langsung balas tersenyum dibuatnya. "Kemari dengan siapa? Tumben tidak mengabari Oma terlebih dulu? Apakah kali ini dengan kakakmu? Di mana sekarang Leon?" tanyanya lagi sambil menegok ke arah belakang Pelita.

Terdiam sebentar, Pelita kemudian menjawab, "Pelita sendiri, Oma," lantas meraih punggung tangan sang Oma untuk dicium.

Omanya sedikit tercenung kemudian menyuruhnya masuk, "Ya sudah, masuk, Nduk! Kamu pasti capek." Wanita tua itu kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Pelita mengangguk lalu menggeret kopernya ke dalam.

"Opamu sedang bepergian. Ada sedikit masalah di perkebunan tehnya. Oma sudah bilang agar Opamu menyuruh orang lain saja yang pergi, tapi Opamu keras kepala. Beliau ingin pergi sendiri mengeceknya. Mungkin, besok siang Opamu baru pulang," kata Omanya lalu mempersilakan Pelita duduk di sofa ruang tamu.

"Wajahmu terlihat pucat. Kamu sakit?" tanya Omanya belum lama setelah Pelita mendudukkan diri. Ada nada khawatir yang kentara dalam suaranya.

Pelita dengan cepat menggeleng. "Tidak, Oma. Pelita baik-baik saja," bohongnya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang