Bab 39: Rahasia

917 131 44
                                    

"Astaghfirullahalazim."

Shodiq hanya bisa mengucap istigfar setelah mendengar apa yang dialami oleh saudara sepupunya di kota perantauannya.

Laki-laki seperempat baya itu masih tidak menyangka, hal seburuk itu bisa dialami oleh Adhim, keluarganya, orang terdekatnya.

"Aku sudah mencemari nama baik Abah, Umi, dan keluarga besar kita, Cak. Aku sudah menghancurkan masa depan seorang perempuan. Aku seorang pendosa besar."

Shodiq bisa melihat penyesalan dan keputusasaan tergurat sempurna dalam suara berat dan wajah murung Adhim.

Sungguh, baru kali ini Shodiq melihat Adhim seterpuruk ini. Meski tidak mengalami, Shodiq bisa memahami seberat apa masalah yang tengah Adhim hadapi.

"Aku akan mendoakan yang terbaik untuk sampean, Dhim. Aku juga akan membantu sampean merahasiakannya untuk sementara. Gusti Allah Maha Kuasa. Insyaallah akan ada hikmah yang besar dari kejadian ini. Allah sedang menegur kita, Dhim. Sebagai manusia, kita tidak boleh lalai dari perintah dan larangan-Nya! Siapa saja yang sudah tahu?" tanya Shodiq perhatian.

Adhim menggelengkan kepala perlahan. "Tidak ada. Sampean orang pertama dari keluarga kita."

"Masyaallah." Shodiq menghela napasnya. "Lalu ke depannya kamu mau bagaimana?"

Adhim terdiam tidak segera membalasnya. Manik cokelatnya lurus ke depan, menatap halaman luas Yayasan Nurul Anwar yang terlihat remang-remang di bawah payung langit malam.

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Bersama Shodiq, laki-laki berambut gondrong itu duduk berdua di pos penjagaan yang berdiri di dekat gerbang masuk pondok pesantren asuhan Kiai Adnan dan Nyai Fatimah itu, ayah dan ibu mertua Zulfa yang siang ini dikunjunginya. Hanya mereka berdua saja berteman satu cangkir kopi untuk masing-masing. Santri yang biasa berjaga di sana diminta Shodiq menjaga di tempat lain ketika Adhim datang mengajaknya bicara.

"Yang jelas aku ingin segera menemukan perempuan itu," kata Adhim. "Aku ingin memohon ampunannya dan mempertanggungjawabkan perbuatan bejatku kepadanya. Aku siap, Cak, jika harus masuk penjara."

Shodiq sedikit terlonjak mendengar kata-kata Adhim. "Kamu serius?" tanyanya.

"Iya." Adhim mengangguk mantap. "Perempuan itu ... dia sedang hamil sekarang."

Kedua mata Shodiq langsung melotot lebar.

"Wajahnya benar-benar mirip seperti Zulfa, Cak. Aku sempat mengira dia Zulfa pada mulanya. Dia sekarang juga sedang hamil seperti Zulfa. Kira-kira mau tujuh minggu ini. Aku sudah mencarinya ke sana-kemari," tambah Adhim lirih.

"Jadi perempuan itu ... hamil dengan kamu?"

Dengan wajah nanar Adhim mengangguk.

"Masyaallah .... Astaghfirullah, Dhim .... Paklik Kiai dan Bulik Nyai pasti akan sangat terkejut jika mendengar ini! Bagaimana bisa? Allah ...."

Adhim memejamkan matanya. Reaksi Shodiq memang sudah diprediksinya.

"Orang-orangku sedang mencarinya," ujar Adhim dengan suara pelan. "Aku hanya mencarinya berdua dengan temanku saat di Bandung dan Jogja, tapi setibanya di Surabaya, aku meminta para khodamku membantu, Cak. Aku tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Aku hanya bilang jika aku sedang mencari perempuan yang mirip Zulfa dan meminta mereka merahasiakannya dari Abah, Umi, ataupun Mas Alim. Jadi tolong, sampean juga benar-benar mau merahasiakan hal ini dulu dari siapapun."

Shodiq menghela napas kasar. Apa yang menimpa Adhim benar-benar memprihatinkan.

"Tentu, Dhim. Aku akan menjaga rahasia ini sampai kamu sendiri yang mengungkapkannya." Ia menatap Adhim lama. "Jujur, aku cemas jika Paklik Kiai dan Bulik Nyai kolaps saat tahu ini. Zulfa juga sedang hamil muda. Dia baru saja berbaikan dengan Gus Fatih. Zulfa sangat sayang dan peduli padamu, aku tidak ingin Zulfa banyak pikiran jika tahu apa yang menimpa sampean."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang