Bab 2: Sang Pengembara

2.3K 134 21
                                    

Kubakar cintaku
Dalam hening nafas-Mu
Perlahan lagu menyayat
Nasibku yang penat

Kubakar cintaku
Dalam sampai sunyi-Mu
Agar lindap, agar tatap
Dari hujung merapat

Rinduku terbang
Menembus penyap bayang
Rinduku burung malam
Menangkap cahaya: rahasia bintang-bintang

Kucabik mega, kucabik suara-suara
Betapa berat Kau di sukma
Agar Hati, agar sauh di pantai
Sampai juga di getar ini

_

"Woi!"

Tubuh seorang laki-laki dengan surai hitam dan panjang tersentak sesaat setelah seseorang menepuk keras pundaknya.

"Lihat apaan?" tanya seseorang yang baru saja mengejutkan laki-laki bersurai panjang itu.

Seorang lelaki bertubuh jangkung atletis dengan potongan rambut cepak. Tato berbentuk jangkar mencuat di lengan kanan laki-laki berambut cepak itu yang hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam. Di lehernya, melingkar kalung rantai yang di ujungnya berbandulkan cincin berbahan lempengan besi tipis sepanjang tiga sentimeter---bahan yang sama sekai tak senilai dengan rantai kalungnya yang terbuat dari emas murni berwarna putih.

Sedangkan laki-laki berambut panjang sendiri---yang bisa juga disebut gondrong, ia mengenakan setelan celana jins biru tua dengan atasan kaos abu-abu yang di bagian luarnya dilapisi kemeja levis warna hijau army yang melekat sempurna di tubuh kekar tak kalah atletisnya. Kancing-kancing kemeja levis yang ia kenakan tidak dikancingkan sama sekali. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan tergerai begitu saja sepanjang bahu.

Mendengar pertanyaan dari temannya yang baru datang itu, laki-laki berambut gondrong langsung mematikan layar ponsel yang sedang ditatapnya.

Terdengar siulan pendek setelahnya. Laki-laki berambut cepak dengan tato yang menjadi sumber dari suara siulan itu.

"Cantik banget. Siapa? Cewek lo?" tanya laki-laki berambut cepak merujuk pada sebuah foto perempuan berjilbab yang sempat ia lihat pada layar ponsel lelaki berambut gondrong sebelum temannya itu mematikan ponselnya.

Yang ditanyai hanya mengembangkan senyum simpul. "Bukan. Adek gue," jawabnya pendek lantas memasukkan ponsel ke dalam kantung celana jins yang ia kenakan.

Laki-laki berambut cepak memasang senyum lebar lalu mengambil tempat untuk duduk di samping laki-laki berambut gondrong itu, di sebuah bangku kayu panjang yang ada di pinggiran taman universitas.

"Gila gilaa! Cantik banget adek lo. Jadi, itu adek lo?! Kenalin ke gue napa?"

Laki-laki berambut gondrong menanggapinya dengan dengkusan tawa, kemudian menjawab, "Nggak ada. Ngenalin adek gue ke playboy kelas kakap kayak lo itu, sama aja ngasih buaya makanan," katanya santai.

"Ha ha ha ha." Laki-laki berambut cepak langsung tertawa kencang. "Nggak lah, Bang. Kalau sama adek lo insaf gue," jawabnya menatap lawan bicara. "Mana berani gue macem-macem kalau abangnya orang paling disegani seantero jalanan Kota Bandung. Udahlah, kenalin ke gue aja oke?!"

Laki-laki berambut gondrong mencebikkan mulut. "Lo terlambat," ujarnya sembari tersenyum di salah satu sudut bibir. "Adek gue udah nikah seminggu yang lalu."

Tercipta jeda setelah itu.

"Hah? Beneran?! Yah ...." Laki-laki berambut cepak mendesah kecewa. "Kecolongan start dong gue!" serunya memasang wajah terluka yang membuat laki-laki berambut gondrong melepaskan kekehannya. "Sama siapa? Baru aja gue mau insaf jadi playboy buat adek lo. Memantaskan diri gitu. Ternyata gue kalah cepet sama orang lain."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang