Bab 61: Takut Kehilangan

1.1K 142 16
                                    

Pelita, Arina, dan Aldo bergegas ke rumah sakit menaiki mobil Pelita yang Aldo sopiri.

Ketika datang menjemput Pelita tadi, sehabis dari rumah sakit tempat Adhim dirawat, Aldo datang ke kampus naik taksi karena tidak mungkin dirinya kembali ke rumahnya dulu untuk mengambil mobilnya sebab hari ini ia mengendarai motor.

Hal itu tentu akan memakan terlalu banyak waktu. Karenanya Aldo meninggalkan motornya terparkir di rumah sakit dan memesan taksi untuk menjemput Pelita kemudian kembali ke rumah sakit dengan mobil Pelita.

Pelita terus menangis sepanjang jalan. Ternyata firasat buruknya mengenai Adhim menjadi kenyataan.

Di sisi lain, Aldo menceritakan kronologi kejadian Adhim yang ditusuk di kursi pengemudi depan sedangkan Arina yang duduk di samping Pelita di bangku penumpang belakang mencoba terus menenangkan temannya itu.

Setibanya di rumah sakit, Pelita langsung berlari menuju kamar Adhim. Tidak perlu bertanya pada resepsionis karena Aldo sudah memberitahu letak kamarnya tadi ketika masih di jalan.

Arina yang melihat apa yang dilakukan Pelita langsung berteriak histeris.

"Pelita, jangan lari! Inget, kamu lagi hamil besar, Lit! Bahaya!"

Namun Pelita tidak menghiraukannya. Ia terus berlari meski dalam hal ini terlihat seperti berjalan cepat semampunya.

"Astagaa, Pelita ...."

Arina mendesah khawatir kemudian berlari mengikuti Pelita bersama Aldo di belakang perempuan itu. Ia tidak menyangka dengan perut besarnya Pelita masih bisa bergerak dengan begitu cepat.

Sore ini koridor rumah sakit terlihat ramai oleh lalu-lalang orang, tapi, Pelita tetap menderapkan langkahnya cepat melewati lalu-lalang itu. Arina dan Aldo pun masih mengikutinya di belakang.

Pelita terus berlari menuju tempat Adhim dirawat sembari menahan bagian bawah perut besarnya dengan sebelah tangan. Dan sama seperti sebelumnya, perempuan itu masih menangis tanpa suara dengan kedua belah pipi yang basah karena air mata yang terus mengalir deras tanpa diminta.

"Mbak Pelita?"

Sesampainya di depan kamar Adhim, teman-teman Adhim yang duduk berjaga di sana langsung berdiri melihat kedatangan Pelita.

Seperti Aldo, mereka pun terlihat sama berantakannya namun ditambah dengan beberapa memar dan luka.

"Kak Adhim di mana?" tanya Pelita dengan suara sendu.

Tak lama Arina dan Aldo yang sedari tadi mengikutinya di belakang sampai juga menyusul perempuan itu.

"Bang Adhim ... dia ada di dalam, Mbak."

Bondan yang menjawab pertanyaan Pelita itu.

Segera, Pelita pun langsung masuk ke dalam kamar rawat Adhim. Perempuan itu sempat berhenti beberapa saat di ambang pintu ruangan Adhim melihat keadaan sang suami kemudian menghambur ke samping brangkarnya.

Tangis Pelita yang semula tanpa suara langsung pecah seketika. Ia menangis kencang melihat kondisi Adhim yang tampak menyedihkan.

Adhim sedang tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat. Ia berbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan sekujur tubuh yang dipenuhi oleh banyak memar dan luka. Kepalanya diperban dengan jarum infus yang menancap di tangan kirinya.

Dan ditusuk? Itu juga yang menyebabkan laki-laki itu dibiarkan bertelanjang dada dengan perban besar yang tampak membalut area perut. Belum lagi ada jarum infus lain yang terpasang di lengannya mengalirkan transfusi darah ke tubuhnya. Adhim cukup kehilangan banyak darah tadi karena luka tusuknya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang