Bab 1: Gadis dengan Lubang Hitam di Hatinya

4.1K 152 6
                                    

I don't know how you are so familiar to me—or why it feels less like I am getting to know you and more as thought I am remembering who you are. How every smile, every whisper brings me closer to the impossible conclusion that I have known you before, I have loved you before—in another time, a different place—some other existence.

[ Aku tidak tahu bagaimana kamu begitu familier bagiku—atau mengapa aku merasa kurang mengenal kamu dan lebih seperti aku mengingat siapa kamu. Bagaimana setiap senyuman, setiap bisikan membawaku lebih dekat pada sebuah kesimpulan yang mustahil bahwa aku sudah mengenal kamu sebelumnya, aku sudah mencintai kamu sebelumnya—di lain waktu, tempat yang berbeda—pada beberapa keberadaan yang lain. ]

Pelita menghela napasnya pelan. Manik madunya menatap lurus pada layar laptop yang ada di depannya. Kursor yang ada di lembar dokumen word yang digarapnya berkedip di akhir paragraf.

Baru saja. Gadis cantik dengan celana kulot hitam, atasan blus putih tulang dengan pita cokelat muda melingkar di pergelangan tangan dan pashmina warna cokelat tua itu menyelesaikan satu bab ceritanya.

Ah, bukan satu bab, melainkan satu bab terakhir cerita. Pelita baru saja merampungkan satu judul cerita lagi, yang nanti di sore hari atau paling tidak besok pagi akan Pelita kirim pada Cecilia, editor yang diberikan penerbit untuk memproses cerita karangannya sebelum dicetak dalam bentuk buku peluk-able.

Who are You?

Entah novel ke berapa cerita yang satu itu. Yang jelas Pelita mengeksekusi ceritanya dengan sebuah kutipan mendalam tentang belahan jiwa berbahasa Inggris yang ditulis oleh Lang Leav, penyair dan penulis kontemporer asal Selandia Baru.

Gadis itu masih terpaku pada kutipan yang mencuat di layar plasma canggihnya.

Tidak peduli berapa kali ia membaca, kalimat 'How every smile, every whisper brings me closer to the impossible conclusion that I have known you before, I have loved you before—in another time, a different place—some other existence' selalu berhasil membuat Pelita merasakan semua bulu kuduknya yang remang berdiri.

Pelita terpaku untuk yang ke sekian kali.

Jujur saja, saat menulis cerita, Pelita kurang suka akhir yang bahagia di penutup ceritanya. Jika tidak sad ending, Pelita lebih suka menyuguhkan open ending di novelnya.

Hidup Pelita tidak bahagia, kenapa hidup karakter buatannya harus bahagia? Toh, di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna. Sebut saja dirinya sendiri, orang lain mungkin menilai kehidupannya sempurna dengan wajah cantik, kaya, terkenal, dan diinginkan banyak orang. Tapi itu hanya bagi orang yang melihatnya dari luarnya saja bukan?

Pelita sebenarnya merasa kosong. Hidupnya cukup berantakan baginya. Lalu di hatinya, ada lubang besar nan hitam yang menganga.

Gelap. Gadis itu kehilangan cahaya dan bahagia hanya mimpi semata dalam kamus hidupnya.

Itulah kenapa Pelita tidak suka membuat cerita yang berakhir bahagia.

Bukan. Bukan benci. Pelita jarang—nyaris tidak pernah—membuat cerita yang happy ending karena dirinya sendiri masih merasa sukar mendeskripsikan bahagia itu sendiri.

Tidak peduli seberapa banyak buku, jurnal, film atau riset yang dilahapnya, Pelita tidak menemukan makna yang benar untuk mendefinisikan bahagia dalam sudut pandangnya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang sebenarnya, terkadang kita harus mengalami dan merasakannya sendiri bukan? Dan gadis ayu itu sudah bertahun-tahun lupa perasaan dari kata 'bahagia' itu. Pelita tentu pernah mengalaminya, namun waktu melahapnya dan tidak menyisakan sedikit pun untuknya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang