Bab 13: Tawaran Kesepakatan

921 106 8
                                    

Adhim Zein Ad-Din Hisyam

Seminggu kemudian ...

Meninggalkan Kediri, meninggalkan Umi, meninggalkan Zulfa, aku kembali melakukannya. Rasanya masih sama hampanya.

Seperti biasa, Umi menyuruhku segera menikah. Kemarin sebelum pulang ke Kediri Umi sudah menunjukkanku putri seorang kiai yang rumahnya ada di Jawa Tengah, adik tingkatku dulu katanya saat aku nyantri di Ponorogo bersama sahabat karibku Gus Aji. Aku lupa namanya. Namun di rumah, Umi kembali membahasnya.

Apakah semenakutkan itu memiliki anak laki-laki seumuranku yang belum mau berkeluarga saat kakak laki-laki dan adik perempuannya sudah? Lagi pula aku belum ingin! Menikah adalah sunah bagi mereka yang mampu. Dan aku masih merasa jauh dari kata mampu untuk itu.

Tidak menyerah dengan putri kiai yang berasal dari Jawa Tengah itu, Umi mencoba menjodohkanku dengan santrinya Kiai Adnan, ayah mertua adikku Zulfa yang memiliki nama Dewi. Gadis itu seorang abdi ndalem di keluarga mertua Zulfa di Jombang. Aku sudah cukup mengenalnya karena gadis itu sahabat baik Zulfa. Kami juga sudah lama saling menyimpan nomor hape masing-masing untuk berbicara dan membahas mengenai Zulfa.

Sama seperti Cak Shodiq, sepupuku, Dewi juga bersedia memata-matai Zulfa untukku. Karena itu aku mengenalnya dan kami saling menyimpan kontak sejak lama.

Aku tidak menyangka bagaimana bisa Umi berpikir menjodohkanku dengan teman baik putri bungsunya sendiri. Gadis yang usianya bahkan jauh lebih muda dariku. Ya ..., meski selama ini, Umi juga selalu melakukannya sih.

Aku hanya belum ingin menikah.

Itu saja.

Yang kuinginkan sekarang hanya melihat gadis kesayanganku berbahagia. Ya, siapa lagi kalau bukan adikku Zulfa.

Daripada Abah, Umi, atau Mas Alim kakak kami, Zulfa selalu lebih dekat denganku daripada siapa pun sejak masih kanak-kanak. Aku selalu bisa membaca rautnya yang umumnya selalu memasang senyum untuk mengetahui apa yang dia rasakan. Aku selalu tahu senyumnya dipaksakan atau terselip kesedihan.

Semakin dewasa, Zulfa semakin pandai memanipulasi ekspresi wajahnya, tapi aku juga selalu bisa membacanya, melihat yang sebenarnya. Karena itu aku tidak pernah melepas pegawasanku darinya meski Zulfa sudah menikah sekalipun.

Aku tidak mempercayai suaminya. Satu-satunya laki-laki yang kupercayai untuk menikahi adikku adalah sahabatku sendiri, Gus Aji. Aku yakin dia bisa membahagiakan Zulfa dan melindunginya. Tapi sayang Zulfa menolak cintanya, tidak peduli segala usaha yang kulakukan dulu untuk mencomblangkan mereka berdua. Zulfa jatuh hati pada gus pesantrennya sendiri dan menikah dengannya.

Gus Fatih. Dia masih seumuran denganku dan Gus Aji. Tapi aku tidak mengenalnya. Satu-satunya alasanku membiarkan pernikahan mereka adalah karena aku yang melihat ketulusan di mata Zulfa.

Bukan karena keluarga besar Gus Fatih atau keluargaku. Aku membiarkan pernikahan mereka karena melihat Zulfa yang mencintai Gus Fatih dengan tulus. Adikku itu bahkan rela menunggu Gus Fatih kembali selama berbulan-bulan lamanya saat Gus Fatih yang seorang sarjana jebolan Al-Azhar itu pergi ke Mesir sebelum pernikahan mereka karena memiliki urusan dengan dosennya di Kairo. Aku membiarkan pernikahan mereka semata-mata benar-benar hanya karena Zulfa, karena ketulusannya.

Adikku itu tidak pernah jatuh cinta selama sembilan belas tahun dirinya hidup, dan Gus Fatih itulah laki-laki beruntung yang menjadi cinta pertamanya.

Zulfa-Zulfa-Zulfa. Sekarang aku hanya mampu mendoakan dan mengharapkan kebahagiaannya dengan terus mengawasinya dari jauh.

Zulfa menolak membagi kesedihannya denganku. Sekali lagi dia lebih memilih menunjukkan senyumannya di hadapanku. Aku menerima itu.

Semoga kebahagiaan itu memang nyata dalam kehidupan rumah tangganya. Semoga Gus Fatih memang mencintainya dan semoga tidak akan ada air mata yang tumpah dari manik indah Zulfa karena suaminya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang