Bab 62: Belahan Jiwa

1.3K 158 58
                                    

"Kak Adhim," lirih Pelita pada Adhim sebelum mendekat ke samping ranjang tempat suaminya itu berbaring.

"Maafin saya, karena saya Kakak jadi seperti ini," katanya menahan air matanya agar tidak mengalir lagi.

"Kak Adhim masuk ke rumah sakit seperti ini karena saya. Maafin saya."

Tes ....

Air mata Pelita akhirnya jatuh juga.

Adhim pun hanya diam menatap istrinya itu.

"Sejak awal Kakak seharusnya nggak pernah berurusan sama saya. Kak Adhim nggak seharusnya menikahi perempuan seperti saya. Kakak harusnya ... Kakak harusnya menuruti permintaan Umi Kakak untuk menikah dengan perempuan pilihannya."

Adhim akhirnya mendesah mendengar kata-kata Pelita.

"Ke sini, Li," pinta Adhim setelahnya, menyuruh Pelita kembali duduk di sisinya.

Pelita menurut sembari mengelap pipinya yang basah.

Setelah Pelita kembali duduk, Adhim menghela napas keras kemudian melempar tanya, "Lalu mau kamu bagaimana?"

Pelita langsung menatap lurus Adhim yang ada di depannya. Ia kembali mengesatkan air matanya yang membasahi pipi dengan kedua telapak tangan.

"Saya mau Kak Adhim menceraikan saya."

Adhim hanya diam mendengar penuturan Pelita itu.

"Benar mau kamu seperti itu?" tanya Adhim setelah beberapa saat.

Beberapa lama Pelita bungkam lantas mengangguk. "Iya."

Adhim kemudian mendesah berat. "Kalau begitu kamu sangat jahat," katanya. "Kamu berencana memisahkan saya dari perempuan yang saya cinta."

Air mata Pelita kembali menetes lagi.

"Kenapa Kak Adhim harus mencintai saya?" tutur Pelita lirih dengan tatapan penuh tanya.

"Karena itu kamu, belahan jiwa saya." Adhim membalas.

"Saya bukan belahan jiwa Kakak," respons Pelita dengan gelengan.

"Kak Adhim bisa berjodoh dengan orang lain yang lebih tepat." Perempuan itu berusaha memasang senyum lebar di wajahnya.

"Memangnya kamu rela?" tanya Adhim tiba-tiba yang langsung membuat Pelita terkejut.

"Apa maksud Kak Adhim?" balas Pelita pelan.

"Saya mendengar suara kamu tadi, saat kamu bilang saya nggak boleh ninggalin kamu. Meski saya tidak benar-benar sadar, tapi saya tahu itu suara kamu. Sekarang kenapa kamu bilang masih mau bercerai dari saya?"

Pelita langsung diam tidak bisa berkata-kata.

"Pokoknya saya suami kamu sampai saya mati, Pelita. Hanya kematian saya yang akan jadi perpisahan kita."

Pelita langsung menggeleng-gelengkan kepala. "Kak Adhim ngomong apa? Kenapa Kak Adhim ngomongin kematian? Enggak! Kak Adhim nggak boleh meninggal lebih dulu!"

Adhim langsung tersenyum. "Karena itu, saya tidak akan menceraikan kamu. Ngerti?"

Pelita menggeleng lagi. "Lalu bagaimana dengan keluarga Kak Adhim? Saya bukan perempuan yang pas untuk berdiri di samping Kakak. Saya punya dunia saya sendiri. Dan dunia itu beda sama dunia Kak Adhim."

"Saya tahu itu," balas Adhim. "Berapa kali saya harus bilang kalau saya tidak akan melepaskan kamu? Apa pun alasannya."

Pelita menampilkan wajah kecewanya.

"Soal keluarga saya itu bukan masalah. Kamu khawatir saya akan dicap sebagai anak durhaka karena tidak menuruti kata-kata Umi? Tidak. Itu tidak akan terjadi. Umi hanya belum bisa menerima pernikahan kita, Pelita. Cepat atau lambat Umi pasti akan menerimanya seperti kata saya." Adhim menjeda.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang