Bab 28: Dua Laki-laki yang Berbeda

1K 131 35
                                    

Pelita melangkah gontai di jalan setapak yang menghubungkan taman dan selasar salah satu gedung kampus yang masih puluhan meter di depan sana. Kakinya terasa lemas, begitu juga tubuhnya.

Gadis itu tidak kuasa melangkah lagi saat mata hazelnya melihat sebuah bangku taman kosong tidak jauh darinya. Pelita mendudukkan diri di sana dengan air matanya yang mulai menetes satu demi satu.

"Tolong maafkan saya. Saya tahu apa yang saya lakukan pada kamu tak termaafkan. Tapi saya mohon, biarkan saya sedikit menebus dosa saya. Kamu bisa menghukum saya dengan cara apa pun yang kamu mau. Saya juga rela masuk penjara asal kamu memaafkan saya. Tolong, izinkan saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya."

Pelita merasakan sesak yang luar biasa di dadanya.

Ia teringat kata-kata Adhim sewaktu mereka berada di kamar mandi perempuan kafe Haris.

Laki-laki itu terdengar tulus. Tidak ada kebohongan di matanya. Tapi, memaafkan orang yang merampas mahkotanya sebagai perempuan saat Pelita bahkan sedang kehilangan kesadaran, itu benar-benar tidak mudah.

Pelita ingat bagaimana perasaannya saat ia terbangun di kamar hotel pagi itu. Takut, hancur, sedih, dan putus asa. Pagi itu Pelita merasa dirinya sama sekali tidak berharga.

Bagaimana tidak? Saat bangun, ia mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun di tubuh. Tidak ada pakaian yang dikenakannya dan tidak ada kerudung yang membalut kepalanya. Dan yang paling menyedihkan, ada seorang laki-laki tak dikenal dengan keadaan serupa di sisinya, dengan aroma alkohol, keringat, dan sisa cinta. Pelita merasa harga dirinya hancur tanpa sisa.

Ia bahkan masih mengingat jelas rasa sakit dan perih yang dirasakan sekujur badannya hari itu. Namun, rasa sakit yang merajam hatinya, itu lebih dalam dan tak terkira. Ia ingat mendiang Mamanya, Papanya, Kakak dan orang-orang yang disayanginya. Pelita merasa ia tidak pantas untuk cinta mereka.

"Allah ... apa yang harus hamba lakukan?" lirih Pelita sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Air matanya turun semakin deras. Tubuhnya sedikit bergetar. Hari yang cerah seolah menjadi abu-abu baginya. Angin yang bertiup di antara dahan-dahan rindang pohon tidak berarti apa-apa karena Pelita bahkan tidak bisa merasakan kesegaran angin itu. Perih di hatinya semakin kuat menyiksa gadis itu.

Adhim Zein Ad-Din Hisyam. Pelita sama sekali tidak menyangka, narasumber incarannya yang beberapa hari lalu dikenalnya lewat WA berkat bantuan Aldo adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang telah merenggut mahkotanya.

Pelita tidak habis pikir bagaimana bisa putra seorang kiai melakukan hal sekeji itu kepadanya.

Ya, memang bukan haknya memberi penilaian pada karakter seseorang. Mengingat jawaban-jawaban yang laki-laki itu berikan sewaktu sesi wawancara mereka, Pelita bahkan merasa jika Adhim adalah laki-laki yang seharusnya cukup bijaksana. Namun malam itu, bagaimana bisa Adhim memanfaatkan kehilang-sadaran Pelita untuk menyentuhnya? Perempuan yang jelas-jelas tidak halal baginya? Adhim bahkan sedang mabuk hari itu! Tidak takutkah Adhim dengan dosa? Tidak sadarkah ia jika apa yang dilakukannya adalah maksiat dan zina?

Pelita kembali merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia memang bukan perempuan suci. Sebagai seorang muslimah ada begitu banyak kekurangan yang ia miliki, baik itu dalam urusan ibadah, bahkan muamalah. Namun apa yang Adhim lakukan kepadanya benar-benar tidak bisa Pelita maafkan.

Karena itu, Pelita memilih tidak ingin berhubungan dengan Adhim lagi meski laki-laki itu meminta maaf dan berkata akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Toh, tidak akan ada yang berubah dari hidup Pelita bahkan jika Adhim masuk penjara. Nasi sudah menjadi bubur. Itu semua hanya akan menambah masalah baginya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang