Bab 56: Bertengkar

1.7K 168 64
                                    

Tidak ada yang berubah dari kamar Adhim. Masih bernuansa biru kehitaman dengan desain ruangan yang serupa luar angkasa. Seseorang seolah-olah akan bisa melihat langit malam yang bertabur bintang ketika berbaring di atas ranjangnya ketika menatap ke langit-langit atap.

Sejak dulu memang didesain seperti itu oleh si empunya kamar.

Di ruangan itu, Pelita mengelus-elus permukaan perutnya yang besar. Air matanya masih jatuh bercucuran.

Semakin ke sini, Pelita merasa bahwa dirinya memang ditakdirkan tidak untuk mencecap bahagia. Pelita merasa semesta benar-benar kejam mempermainkan hidupnya. Sebab bahagia, kata itu tidak akan pernah bertahan lama memeluknya.

"Pelita."

Suara Adhim tiba-tiba terdengar.

Laki-laki itu berdiri di ambang pintu kamar. Menatap Pelita sejenak di posisi itu kemudian menghampiri.

Pelita yang semula diam dalam tangis langsung menyeka pipinya yang basah.

"Saya nggak pa-pa," sahutnya, pelan tanpa ditanya.

Adhim langsung menghela napas. "Abah merestui pernikahan kita," ucap laki-laki itu tak lama kemudian. "Kamu jangan khawatir. Umi pasti akan merestui kita juga."

Pelita hanya diam tidak menyahut.

Adhim kembali menghela napas lalu berdiri di depan istrinya itu. "Kita bertiga akan melewati semuanya sama-sama," katanya lagi sambil meletakkan salah satu tangannya yang besar di atas permukaan perut Pelita kemudian lembut mengelusnya.

Pelita membuang muka ke arah lain sembari mencoba menyembunyikan air matanya yang kembali menetes.

"Saya belum salat Isya, Kak," lirih Pelita beberapa saat kemudian. "Saya mau wudu dulu." Ia berusaha mengelak dari hadapan Adhim.

"Hm." Adhim hanya mengangguk.

Ia melihat Pelita masuk ke dalam kamar mandi dan menghabiskan waktu di dalamnya cukup lama sekali. Adhim tahu, Pelita sedang berusaha menghindar darinya.

****

"Ajak istrimu pergi ke tempat khusus, Dhim. Habiskan beberapa hari tidur di sana," kata Kiai Hisyam yang langsung membuat semua orang yang ada di meja makan itu diam tak bergerak.

Setelah apa yang terjadi pada keluarga besar Adhim, mereka tetap myelangsungkan makan malam seperti biasanya. Hanya saja di waktu yang lebih lambat dari kebiasaan keluarga itu.

Hampir pukul sepuluh malam saat makan malam biasanya dilangsungkan sebelum jam delapan.

Nyai Azizah duduk di tempatnya di samping kiri Kiai Hisyam yang duduk di kursi utama. Lalu di depannya, di seberang meja ada Alim sang putra pertama yang juga bersebelahan dengan Kiai Hisyam di sebelah kanan. Samping Alim ada Ratna, istri Alim. Sedangkan Adhim, sang putra kedua duduk tepat di sebelah kiri Nyai Azizah berdampingan dengan Pelita.

"Ke ... tempat khusus, Bah?" balas Adhim setelah melirik kepada Pelita sebentar.

"Iya," balas Kiai Hisyam pendek.

Ruangan itu masih diselimuti hening. Tidak ada seorang pun yang menggerakkan sendoknya, makan, mengunyah, ataupun yang lain.

Pelita pun hanya diam mendengarkan.

Adhim kembali melirik ke arah Pelita lagi kemudian menoleh pada uminya yang duduk di sebelah kanannya.

Menemukan wajah sang umi yang masih tampak mendung dan tidak semringah seperti tadi.

"Tapi, tempat itu apa tidak dikhususkan untuk pengantin baru, Bah?" tanya Adhim yang langsung dibalas Kiai Hisyam.

"Ya, apa bedanya? Kamu dan istrimu apa tidak termasuk pengantin baru buat Abah? Abah tidak tahu kapan kamu menikah. Ujug-ujug, pulang-pulang sudah punya gandengan istri. Jadi apa bedanya kamu dan istrimu pengantin baru atau tidak?"

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang