Bab 68: Kamu Tidak Kangen Saya?

1.1K 124 24
                                    

Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya.

"Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata.

Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya.

"Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya.

"Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya.

"Dokter, gimana kondisi Papa saya?"

Dokter tampan itu mengehala napas. "Syukur alhamdulillah, Pak Herman sekarang kondisinya sudah semakin baik. Kamu jangan khawatir. Besok pagi atau besok siang kemungkinan Papa kamu sudah akan sadar. Setelah itu kita bisa melakukan serangkaian tes kesehatan lain secara menyeluruh dan mengecek kondisinya lagi. Kamu menghubungi saya di saat yang tepat, Pelita." Dokter itu memungkasi kalimatnya dengan seulas senyum di bibirnya.

Pelita bisa sedikit mengehala napas lega mendengar kondisi papanya itu. "Ya Allah ... terima kasih telah menyelamatkan Papa." Ia menangkupkan kedua tangannya ke wajah sembari menangis penuh syukur.

Dokter Duta pun kembali mengembangkan senyum. "Kalau begitu saya permisi dulu. Kamu boleh masuk ke dalam, Pelita."

Pelita langsung menyingkirkan tangannya dari wajah dan tersenyum menatap dokter papanya, "Terima kasih, Dokter."

Ia kemudian masuk ke dalam kamar rawat Herman, sang papa dan duduk di sebuah bangku yang ada di samping tempat tidurnya.

Untuk beberapa saat Pelita hanya diam mengamati papanya itu sebelum kemudian tangannya meraih sebelah tangan kurus Herman dan menggenggamnya erat.

"Papa segera sembuh ya, Pa," pintanya. "Aku sayang banget sama Papa."

Ia kemudian merapikan selimut yang membungkus tubuh papanya. Lantas, kedua manik madunya mengamati setiap peralatan medis yang terpasang di tubuh tua itu. Menatapnya masih dengan tatapan sendu yang kelabu akan kesedihan.

Pelita menghela napas, "Papa tahu, Pelita sekarang udah jadi istri orang, Pa," curhatnya tiba-tiba. Tidak peduli orang yang diajaknya bicara bisa mendengarnya atau tidak lalu mengusap matanya yang kembali basah di luar kendalinya.

"Orang itu bukan orang yang pernah Pelita bayangin sebelumnya." Pelita melanjutkan. "Bahkan Pelita pikir, aku nggak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi ternyata, Allah punya rencana lain yang membuat Pelita akhirnya menikah dengan orang itu."

Air mata Pelita menetes lagi satu demi satu.

"Pelita nggak tahu gimana reaksi Papa nanti kalau Papa sadar. Papa pasti kaget. Dan mungkin, akan marah besar. Tapi pernikahan ini adalah pilihan Pelita, Pa. Pelita nggak mau nyawa tidak berdosa yang dititipin Allah ke rahim Pelita lahir tanpa ayah. Seperti yang akan Papa lihat nanti kalau Papa sadar, Pelita sedang hamil sekarang."

Jeda.

"Kak Leon ... dia sempat mau gugurin anak di kandungan Pelita ini. Tapi Pelita tolak. Pelita nggak mau jadi pembunuh. Pelita juga nggak mau Kak Leon jadi pembunuh. Anak Pelita ini ... dia nggak salah apa-apa, dan Pelita sayang sama anak ini. Kasih sayang yang nggak pernah Pelita prediksi dan Pelita rasakan sebelumnya. Kasih sayang yang membuat Pelita mau ngelakuin segalanya buat dia, meski Pelita sendiri bahkan belum tahu, bagaimana rupa dia nanti."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang