Bab 8: June dan Pelita

1.1K 101 15
                                    

June Aldrian Adams

Melihat Pelita bersikap seolah ia baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit. Sekali lagi aku merasa telah gagal melindunginya, melindungi Pelita, perempuan yang kucinta.

Firasatku sudah buruk sejak kemarin. Dan hal itu terbukti benar saat pagi-pagi sekali Pelita tidak bisa kuhubungi padahal ponselnya menyala. Ia mengabaikan telepon yang masuk dariku---sesuatu yang sangat jarang terjadi kecuali dirinya sedang sibuk pemotretan.

Selama ini, Pelita akan selalu menjawab teleponku meski dirinya sedang meeting atau setidaknya mengirimiku pesan jika dirinya sedang mengikuti kelas di kampus. Dan pagi ini Pelita benar-benar mengabaikannya.

Aku juga sempat menelepon Arina dan memintanya menelepon Pelita. Arina menjawab teleponku pada dering percobaan kelima dengan suara serak khas bangun tidur. Siapa tahu Pelita akan merespons temannya, tapi sama saja, Pelita juga tidak mengangkat telepon gadis bersurai kecokelatan hasil pewarna rambut itu.

Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung meninggalkan apartemen dan berkendara ke apartemen Pelita setelah Arina meneleponku dan mengatakan semuanya.

Saat aku masuk setibaku di apartemen Pelita, apartemennya terlihat terang. Lampu-lampu masih menyala. Namun, saat aku mendatangi kamar Pelita, ruangan itu gelap. Tirai-tirai jendela masih menjalankan tugasnya melindungi ruangan dari cahaya matahari yang bahkan belum sempurna menampakkan diri.

Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka 04.32 saat aku meliriknya. Dua puluh menit sejak aku meninggalkan apartemen dan mengendarai mobil seperti orang kesetanan di jalanan.

Sekali mengedarkan pandangan, aku menemukan Pelita meringkuk di sudut ruangan. Kedua tangannya memeluk kaki yang ditekuk ke depan. Tanpa mengenakan kerudung dan dengan surai-surai rambut yang menjuntai menutup wajahnya.

"Pelita." Suaraku lirih saat memanggil namanya.

Pelita langsung mengangkat kepala. Aku sedikit terhenyak mendapati wajah cantiknya yang terlihat berantakan walau tanpa penerangan yang memadai. Hidungnya merah dengan mata bengkak dan pipi basah karena air mata. Mata hazelnya terlihat kosong namun sarat sinar luka.

"K-Kak June ...." Pelita seperti mencicit saat memanggil namaku.

Aku langsung menghambur ke arahnya dan memeluknya setelah itu.

Pelita hanya diam.

Aku tahu yang kulakukan tidak benar. Aku seharusnya tidak boleh memeluknya. Tapi aku tidak bisa menahannya.

Jika Pelita tidak sedang begini, ia pasti akan memukulku karena sudah lancang mendekapnya seperti ini. Ia akan marah besar padaku. Dan yang terburuk, Pelita akan membunuhku dengan tidak mau lagi bertemu denganku.

"Kak June." Tidak lama Pelita bersuara lagi. "Lili takut."

Aku langsung terhenyak.

Lili? Kenapa Pelita menyebut dirinya sendiri Lili? Itu adalah panggilan kesayangannya dulu bertahun-tahun yang lalu. Panggilan kesayangan Pelita saat dirinya masih kanak-kanak yang didapatnya dari orang tua dan kakaknya dulu.

Aku mengendurkan pelukanku dan menatapnya. Namun, sama seperti sebelumnya, mata Pelita masih terlihat kosong dan sarat akan luka. Air matanya terus jatuh tanpa suara.

Ia tidak terisak. Aku pasti akan langsung menemukannya tadi jika Pelita menangis keras tanpa harus menyapu pandang ke sekeliling kamar.

"Apa yang terjadi?" tanyaku. Berharap Pelita mau balas menatap ke arahku. Tapi Pelita hanya bergeming dengan cairan larikmanya yang masih menetes satu demi satu.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang