Bab 55: Reaksi Abah

1.9K 197 40
                                    

Setelah keluar dari kamar sang umi, hal pertama yang Adhim lakukan adalah mencari keberadaan Pelita, sebab Adhim tidak menemukan presensi istrinya itu di ruang tamu ketika Adhim menghampiri ruangan terakhir ia melihat perempuan yang sedang mengandung anaknya itu.

Pelita kamu di mana?

Adhim mengirimi Pelita pesan.

Laki-laki itu hampir panik saat pesan yang ia kirim balon chat-nya hanya memiliki centang satu, sampai Ratna, sang kakak ipar, mendatangi Adhim tepat sebelum Adhim mencoba menelepon Pelita dengan nomor biasa.

"Pelita Mbak minta pergi ke kamar kamu. Dia ada di sana, Dek. Tadi Mbak antar," kata Ratna.

Adhim langsung menghembuskan napas lega. "Matur nuwun, Mbak," gumam laki-laki jangkung itu lalu bergegas pergi ke kamarnya.

"Pelita," panggil Adhim begitu ia masuk kamar.

Segera Admin mendapati Pelita berdiri membelakanginya, menatap potret dirinya bersama Zulfa yang tergantung di dinding berwarna biru tua kamar.

Potret Adhim dan Zulfa beberapa tahun lalu, saat Zulfa masih mondok sebagai santri putri di pesantren keluarga Fatih, suami Zulfa sekarang, ketika Adhim bertandang menghampiri sang adik untuk sambang dalam rangka melepas kerinduan.

Ada suara isakan lirih yang terdengar.

"Pelita?" panggil Adhim sekali lagi.

Kedua tungkai kakinya melangkah menghampiri.

Pelita akhirnya menoleh sembari menyeka kedua belah pipinya yang basah.

"Saya nggak bisa, Kak," katanya menatap Adhim dengan kedua mata yang sembab. "Saya nggak bisa hidup di dunia Kak Adhim. Latar belakang kita sangat jauh berbeda. Kak Adhim ... pantas mendapatkan pasangan hidup yang jauh lebih baik daripada saya."

"Kamu bicara apa, Pelita?" sambar Adhim cepat.

Pelita kembali terisak.

"Saya dengar percakapan Kak Adhim dan umi Kakak," kata Pelita kemudian.

Kedua mata Adhim langsung melotot.

"Kak Adhim tidak seharusnya menikahi saya," lanjut Pelita lagi. "Kakak seharusnya menikahi perempuan yang setara dengan Kak Adhim."

Perempuan itu kembali mengalihkan pandangan dengan menatap foto Adhim dan Zulfa yang terpasang di dinding.

Kedua orang dalam foto itu terlihat sangat bahagia meski Adhim tampak memasang wajah jelek di foto itu sedangkan Zulfa tersenyum manis.

Pelita semakin meyakininya, jika Adhim memang teramat sayang dan cinta kepada Zulfa, adiknya. Sama seperti yang dikatakan Nyai Azizah.

Foto yang dilihatnya itu salah satu buktinya. Selain foto keluarga, Adhim memasang foto dirinya hanya berdua dengan Zulfa di tembok kamar. Bersanding dengan foto keluarga Adhim dalam formasi lengkap dan foto Adhim dengan kedua saudaranya, Alim dan Zulfa.

"Meski belum pernah bertemu Zulfa secara langsung, sekarang saya yakin jika wajah kami memang benar-benar mirip. Mungkin karena itu, Kak Adhim ingin menikahi saya. Karena Kak Adhim kasihan kepada saya. Karena Kak Adhim melihat Zulfa pada diri saya."

Air mata Pelita berjatuhan dengan deras.

"Setelah adek bayi lahir, Kak Adhim bisa menceraikan saya, Kak. Pertemuan kita sejak awal adalah kesalahan."

Adhim menggelengkan kepalanya kuat.

"Tolong jangan pancing emosi saya juga, Pelita," kata Adhim. "Kamu adalah istri saya. Hanya maut yang bisa memisahkan kita. Saya tidak akan menceraikan kamu."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang