Bab 32: Siapa Ayah Anak Itu?

1K 124 66
                                    

Di dunia ini tidak ada yang benar-benar Pelita percayai selain dirinya sendiri. Sebab semua orang selalu meninggalkannya, pergi, dan mengkhianatinya.

Mamanya, Papanya, Leon, June, juga Arina. Semesta selalu mempermainkan Pelita melalui orang-orang yang disayanginya.

Pelita tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hancur. Seolah tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Ia bahkan tidak bisa melarikan diri karena apa yang terjadi benar-benar membuat Pelita lumpuh kali ini.

"Jawab, Pelita ... siapa ayah anak itu?"

June masih menanyakan hal yang sama kepadanya dengan wajah laki-laki jangkung itu yang terlihat terluka dan air mata yang semakin nyata jatuh dari manik cokelatnya.

Pelita semakin menundukkan kepala. Ia mencengkeram kain seprai ranjang rumah sakit dengan kedua tangan.

Sebelumnya Pelita pikir semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada dirinya setelah kejadian itu. Namun, ia salah. Alat pemeriksa kehamilan itu salah. Saat ini sudah ada kehidupan lain yang tumbuh di rahimnya. Kehidupan lain yang hadir sebagai hasil dari kejadian kelam yang berminggu-minggu lalu tanpa disangka terjadi dan menimpanya.

Ya, baiklah. Pelita tahu. Ia pernah membaca sebuah artikel jika dalam usia kehamilan satu minggu, kehamilan umumnya belum bisa terdeteksi oleh alat pemeriksa kehamilan karena hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dalam air seni atau urine belum terlalu meningkat, di mana pada perempuan hamil, hormon ini akan diproduksi dalam jumlah banyak.

Pelita seharusnya tidak mengabaikan fakta itu. Saat ia menguji urinnya dengan testpack kala itu yang menunjukkan hasil negatif, ia memang baru terlambat datang bulan satu minggu, sehingga tidak menutup kemungkinan jika hasilnya tidak akurat. Pelita seharusnya menguji air seninya lagi agar ia bisa mengantisipasi semua ini.

"Tolong jawab, Pelita ...!"

Suara June kembali mengalun di telinganya.

"Siapa laki-laki itu? Apa yang terjadi selama aku pergi?"

Pelita tetap tidak menyahuti dan memilih menunduk lebih dalam.

June mengerang frustasi. Ia berkacak pinggang sambil mendongak melihat langit-langit kamar lalu pergi meninggalkan ruangan setelah melirik Pelita yang tetap bergeming lewat manik cokelatnya sebentar.

****

"Arina?"

June memanggil Arina yang dilihatnya tengah berjongkok di pinggir dinding sekeluarnya laki-laki itu dari kamar rawat Pelita.

Arina yang merasa terpanggil langsung menoleh ke arah suara June yang berasal dari samping kanannya itu. Ia langsung menghapus air matanya dengan kedua belah tangan lalu beranjak berdiri.

"Iya, Bang?" sahutnya lirih sedikit sengau.

June tidak langsung bersuara. Laki-laki itu diam sebentar kemudian berucap, "Kita perlu bicara!"

Setelahnya, Arina tidak bisa berbuat apa-apa selain mengekori langkah panjang June yang sudah berjalan lebih dulu di depannya.

Arina bahkan tidak sempat menyahut lagi. Yang gadis itu tahu, setelah ini akan ada badai besar yang siap menerjangnya jika Arina menceritakan yang sebenarnya kepada laki-laki jangkung di hadapannya mengenai apa yang menimpa Pelita.

"Bang .... Maafin aku ...," kata Arina lirih sambil memainkan tangannya yang bergetar.

Keduanya saat ini sudah pergi jauh dari kamar Pelita sejak bermenit-menit yang lalu.

Kepala Arina tertunduk. Air matanya turun dengan deras dan isaknya pilu mengisi udara.

June rapat memejamkan kedua mata.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang