Bab 11: Hantu Bernama Masa Lalu

1K 105 8
                                    

"Hufft ...." Pelita menghembuskan napas kasar.

Ingatan itu masih terasa sangat baru di kepalanya. Seolah terjadi baru saja. Saat dirinya memutuskan pergi meninggalkan Jakarta setelah berselisih paham dengan Papa dan istri barunya lalu disusul June di Bandung.

Pelita tidak menyangka jika sudah dua tahun lamanya waktu berputar sejak hari itu. Tapi dirinya masih sama dan belum bisa berdamai dengan masa lalu. Mungkin tidak akan pernah bisa.

June mengemudikan mobilnya dalam diam di kursi kemudi yang ada di sebelah kanan Pelita. Tidak ada percakapan. Benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing yang sama-sama berkecamuk.

Seberapa besar usaha Pelita untuk melupakan masa lalu, masa lalu itu selalu datang menghantuinya. Lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa keras dirinya menyibukkan diri. Kuliah, modeling, menulis dengan beberapa akun sekaligus, mengolah channel YouTube dan mengelola Instagram. Masa lalu itu selalu menemukan celah untuk mengusiknya diam-diam.

Tidak perlu badai. Kabar dari Jakarta yang disampaikan June kepadanya beberapa hari lalu yang mengatakan jika Papanya, Herman Ludwig Wilhelm jatuh sakit dan menginginkan Pelita kembali ke sisinya, telak menaburi garam di hati Pelita yang penuh luka.

Pelita tidak pernah membenci Papanya. Ia hanya marah dan kecewa, juga sedikit sakit hati dengan pilihan dan sikapnya.

Sampai saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan jika Kartika Dewi, Mamanya meninggal bukan karena bunuh diri. Tapi Pelita yakin Mamanya tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Pelita mengenal Mamanya. Dan lebih dari dirinya, Papanya seharusnya menjadi orang pertama yang meyakininya meski beberapa hari sebelum Mamanya meninggal keduanya sempat berselisih paham.

Pelita tahu Papanya sangat mencintai Mamanya. Ia bahkan bisa melihat semua itu dari duka dan kesedihan mendalam yang terlukis di wajah sang Papa sepeninggal Mamanya. Tapi, kenapa Papanya diam saja saat petugas kepolisian yang memeriksa Mamanya hari itu mengatakan Mamanya bunuh diri sehingga kasus kematiannya tidak ditindaklanjuti?

Papanya bahkan mencoba meyakinkan dirinya dan Leon jika Mamanya memang bunuh diri. Kenapa?

Kadang terbersit pikiran konyol di kepala Pelita, Papanya ... bukan orang yang membunuh Mamanya kan? Jika pun ada kemungkinan, Pelita tahu Papanya tidak mungkin melakukan hal itu.

Lalu kenapa Papanya tidak mempercayai Mamanya, wanita yang dicintainya? Meyakini perempuan baik hati dan lembut seperti Mamanya memilih mengakhiri hidup yang diberikan Tuhan dengan bunuh diri sama saja tidak mempercayainya.

Kenapa Papanya melakukan itu? Tidakkah cinta berarti kepercayaan? Kenapa Papanya tidak percaya jika Mamanya tidak mungkin mengakhiri hidupnya?

Pelita benar-benar sakit hati karenanya.

Dan yang membuat Pelita marah dan kecewa adalah ... Papanya yang menikah lagi dengan perempuan lain belum satu tahun Mamanya pergi. Perempuan itu adalah Diana Mery, kenalan Papa dan Mamanya dulu ketika menempuh pendidikan di Prancis.

Diana berasal dari Indonesia. Meski kuliah di tempat yang sama, Herman dan Kartika baru berteman dengan Diana setelah keduanya bertemu dengan Diana lagi di Jakarta ketika Pelita dan Leon masih kecil tak lama setelah keluarganya pindah dari Yogjakarta ke Jakarta.

Diana adalah perempuan yang baik. Setidaknya itu yang ia tunjukkan pada Herman dan keluarganya sebelum Kartika meninggal dan dirinya menikah dengan Herman. Namun, setelah menikah sifat aslinya tampak. Saat Herman tidak ada, Diana akan berlaku sewenang-wenang kepada Leon dan Pelita.

Leon dan Pelita tentu tidak mau diperlakukan tidak adil di rumahnya sendiri. Tetapi saat Leon memberi tahu Papanya bagaimana kelakuan Diana di belakangnya, Herman tidak pernah percaya.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang