Bab 44: Kehidupan Baru

1.5K 161 57
                                    

"Hoek hoek hoek."

Morning sickness.

Seperti biasa, pagi-pagi Pelita harus tunggang-langgang ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.

Namun kali ini ada yang berbeda. Sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya dari belakang lalu memberikan pijatan lembut di tengkuknya selama perempuan itu muntah.

Pelita sempat terkejut. Namun, ia berhasil mengendalikan ekspresinya agar tidak diketahui oleh orang yang membantunya itu. Adhim Zein Ad-Din Hisyam, suaminya, laki-laki yang pada malam hari sebelumnya telah menikahinya.

"Apakah masih mual?" tanya Adhim penuh perhatian setelah Pelita membasuh wastafel dan mencuci mulutnya dengan air.

"Saya nggak pa-pa," jawab Pelita dengan wajahnya yang masih menampakkan pucat yang kentara. "Biasanya juga begini kok," tambahnya sambil menatap Adhim.

"Kalau begitu apa perlu kita tunda dulu kepulangan kita ke Bandung?" tanya Adhim. "Kamu juga baru pulang dari rumah sakit. Kamu bisa istirahat dulu di hotel."

Pelita menggeleng. "Enggak, Kak. Saya nggak pa-pa," balasnya. "Kak Adhim mahasiswa semester tua, Kakak pasti harus kembali fokus sama kuliah. Saya juga udah absen berhari-hari, jadi kita harus segera kembali ke Bandung."

"Kamu yakin?"

"Em." Pelita mengangguk.

"Oke." Adhim mengiyakan setelah menghela napasnya.

Selesai sarapan pagi di hotel dan mempersiapkan kepulangan, Adhim dan Pelita meeting bersama Leon, June, Aldo, dan Arina di coffee shop dekat hotel. Apa lagi yang mereka bicarakan jika tidak masalah Pelita yang setelah ini tinggal di mana dan bagaimana kehidupan perempuan itu ke depannya.

Sebelum semua ini, Pelita sudah meneken beberapa kontrak untuk menjadi model di beberapa tempat dan agensi. Baik Adhim dan Leon selaku suami dan kakak menginginkan perempuan itu membatalkan kontraknya meski harus membayar penalti. Namun, Pelita yang keras kepala tidak mau dan mengatakan jika dirinya akan tetap bekerja sebelum perutnya membesar karena kehamilannya.

Modeling adalah bagian dari hidup Pelita. Ia ingin melakukannya setidaknya sampai dirinya tidak bisa lagi saat kehamilannya mulai terlihat. Kepada semua orang, ia berjanji akan selalu berhati-hati dan menjaga diri.

Dan mengenai kuliah, Pelita tetap ingin melanjutkan kuliah di kampusnya. Tidak ada yang perlu Pelita khawatirkan sekarang. Jika ada orang yang mengetahui dirinya hamil, sudah ada Adhim yang menjadi suaminya.

Mungkin, akan beredar kabar tidak sedap karena pernikahannya yang tidak diketahui semua orang---dan memang baru terjadi, tapi ia bisa mengatasi semua itu. Pelita tidak memiliki banyak teman di kampus. Ia juga merasa tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa yang menimpa dirinya kepada semua orang atau siapa pun.

"Kakak hargai keputusan kamu, Dek." Leon angkat bicara. "Tapi kamu yakin nggak mau cuti dulu aja sampai kamu lahiran?"

Pelita menggeleng. "Enggak, Kak. Aku mau tetep kulaih. Toh ada Arina juga yang akan selalu bantu aku. Iya kan Rin?" tanyanya beralih menatap Arina yang duduk tak jauh darinya.

"Iya, Kak." Arina langsung mengangguk. "Aku janji akan selalu bantu Pelita. Kami satu kelas."

Leon menghela napas.

"Dhim, gue bener-bener minta lo jaga Pelita. Gue nggak mau ada air mata yang jatuh dari mata adek gue."

Laki-laki itu beralih menatap Adhim yang ada di samping Pelita yang duduk di depannya.

"Saya pasti akan jaga Pelita. Kamu nggak usah khawatir," balas Adhim bersungguh-sungguh.

"Gue pegang omongan lo." Leon berusaha percaya sambil manggut-manggut.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang