Bab 53: Tiba di Kediri

1.2K 186 73
                                    

"Selain Opa, Oma, dan Kak Leon, Pelita sudah tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Hanya kalian keluarga yang Pelita punya. Terima kasih. Terima kasih karena Opa dan Oma masih mau memaafkan dan mendukung Pelita."

Kedua mata indah Pelita terus mengeluarkan cairannya. Suaranya mengalun lirih namun masih cukup terdengar jelas meski sedikit sengau.

"Kamu ini bicara apa, Nduk?" sahut Oma Pelita. "Opa dan Oma pasti akan selalu mendukung kamu," lanjutnya dengan larikma yang turut bercucuran.

"Jangan pernah berpikir jika kamu hanya sendiri di dunia ini." Perempuan tua itu membungkus tangan kanan Pelita yang duduk di sampingnya dengan kedua tangan lalu menggenggamnya erat. "Sudah, ya? Jangan menangis! Ndak apik."

Pelita menatap sang oma, saling pandang sebentar lalu berpelukan erat.

"Nak Adhim, tolong jaga baik-baik cucu Oma," tutur Oma Pelita lagi.

Adhim yang duduk tak jauh dari keduanya di sebuah kursi panjang bersama Opa Pelita langsung mengangguk.

"Semoga kamu dan Adhim bahagia selalu, Nduk. Semoga rumah tangga kalian sakinah mawaddah warahmah." Oma Pelita memegang kedua pipi Pelita kemudian kembali merengkuh erat. "Doa kami selalu menyertai kalian."

"Aamiin. Terima kasih, Oma."

Oma Pelita melepaskan rangkulannya.

"Bagaimana, Nak Adhim? Kamu yakin keluarga besarmu bisa menerima semua ini?" risik Opa Pelita kepada Adhim. "Bagaimana kalau keluargamu tidak bisa menerima cucuku? Pelita adalah cucu kesayanganku. Dia anak perempuan satu-satunya putriku."

Kepala Adhim sebentar tertunduk mendengarnya.

Di ruangan bernuansa Jawa klasik itu, beberapa saat yang lalu Adhim telah menjelaskan semuanya lagi mengenai dirinya dan Pelita kepada opa-oma Pelita, pun menceritakan kehidupan pribadinya dan keluarganya.

Bagaimana sejak kecil Admin digembleng dengan pendidikan pesantren, bagaimana kedua orang tuanya begitu menyayanginya dan kedua saudaranya---terlebih sang umi, bagaimana ia memilih melawan arus dengan mengambil pilihan hidupnya sendiri---melanjutkan pendidikan di kota lain yang jauh, bagaimana kedua saudaranya menikah malalui perjodohan dengan keluarga pemilik pesantren lain, dan bagaimana uminya menginginkan Adhim segera menikah dengan mengenalkan Adhim para putri kiai dari berbagai penjuru.

Singkatnya, bagaimana kehidupan Adhim jauh berbeda dengan kehidupan Pelita.

"Opa jangan khawatir. Kebahagiaan Pelita adalah tanggung jawab saya," sahut Adhim sambil mengangkat kepala lagi. "Saya pastikan semuanya akan baik-baik saja, Opa. Dengan siapa saya menikah, itu adalah pilihan saya."

Mendengar jawaban Adhim Opa Pelita menghela napas. "Aku tidak meragukan kata-katamu, Dhim," katanya. "Tapi aku perlu tahu, apa jaminannya kalau keluargamu bisa menerima cucuku?"

Laki-laki tua itu menatap Adhim tajam dan dalam-dalam.

Adhim terdiam sebelum menjawab, "Saya sendiri jaminannya."

Opa Pelita kembali menghela napas kemudian menganggukkan kepala. "Semoga jalan kalian selalu dimudahkan-Nya."

Ada jeda sebelum Adhim mengamininya. "Aamiin."

****

Pelita memeluk perut besarnya erat dengan kedua tangan. Seolah sigap melindungi calon bayinya dari apa pun yang bisa menyakiti. Manik hazel Pelita terus menatap Adhim yang ada di sebelah kanannya.

Setelah satu jaman menempuh perjalanan udara dari Yogyakarta ke Surabaya, beristirahat sebentar untuk makan siang di salah satu resto yang ada di dekat bandara, dan beberapa jam menempuh perjalanan darat dengan mobil yang dikendarai Shodiq---Adhim dan Pelita memutuskan untuk meminta jemput saudara sepupu Adhim itu alih-alih menaiki kereta seperti rencana awal, mereka akhirnya tiba di Kediri, kediaman Adhim.

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang