Bab 21: Pengintaian

1.1K 111 10
                                    

"Sori, Bang. Gue belum dapet identitas perempuan itu," ucap Aldo pelan yang hanya diangguki kepala oleh Adhim. "Gue udah mata-matain Arka belakangan ini, tapi gue nggak dapet apa-apa," tambah laki-laki dengan tato di lengan kanan itu bernada menyesal atas apa yang ia sampaikan.

"Haah." Adhim hanya menghela napas panjang.

Dua minggu telah berlalu sejak kejadian di hotel pascaacara pameran malam itu.

Aldo langsung mengawasi gerak-gerik Arka setelah ia tahu laki-laki itulah yang menyewa kamar yang ditempati Adhim dan perempuan yang tidur bersamanya. Namun, sepanjang Aldo menyuruh orang membuntuti Arka yang belakangan tidak pernah muncul di kampus, ia tidak mendapatkan informasi apa-apa selain Arka yang lebih sering menghabiskan waktunya di arena balap dan markas geng motornya, Arcas.

Aldo diliputi perasaan bersalah. Dan setiap ia melihat Adhim yang terlihat semakin hari semakin suram dengan kantung mata hitam dan tebal di bawah netranya, rasa bersalah Aldo semakin besar dan menyiksa. Semua ini tidak akan pernah terjadi jika sejak awal ia tidak pernah menyetujui kesepakatan gila itu dengan Najla.

"Do," panggil Adhim.

"Iya, Bang?" Laki-laki itu mengangkat kepalanya yang semula menunduk, menatap Adhim yang duduk di sebelahnya yang sekarang juga sedang menatapnya.

"Soal Pelita, dia semester berapa?" tanya Adhim setelah melewati banyak pertimbangan di kepala.

Dahi Aldo praktis mengernyit mendengar pertanyaan itu. "Pelita, ya? Semester lima, Bang. Anak Hukum," jawab Aldo. "Kenapa?" tambahnya ganti melempar tanya. Ia penasaran kenapa Adhim tiba-tiba menanyakan Pelita.

"Enggak, nggak pa-pa." Adhim menggelengkan kepala sambil berusaha tersenyum.

Adhim menghela napas lagi secara diam-diam. Jika dugaannya tidak salah, itu berarti Arka dan Pelita mungkin saling mengenal. Dari informasi yang diberikan Aldo tempo hari, Adhim tahu jika Arka juga mahasiswa semester lima di jurusan Hukum sama seperti Pelita. Kemungkinan keduanya saling mengenal tentu besar apalagi jika Arka dan Pelita duduk di dalam satu kelas yang sama.

Mengikuti kata hati, Adhim yakin Pelita adalah perempuan baik-baik. Gadis itu tidak mungkin hendak menyerahkan dirinya pada Arka di malam kejadian itu seperti yang Aldo curigai---meski di sisi lain, Aldo belum tahu jika perempuan yang tidur bersama Adhim adalah Pelita saat itu.

Di dalam ingatannya yang sempat samar, Adhim ingat jika gadis itu tidak bangun ataupun melakukan perlawanan ketika Adhim mulai menyentuhnya. Pelita tidak sadar. Adhim malah yakin jika Arka memiliki niatan buruk pada gadis itu. Namun bagaimana pun, Adhim tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia harus menemui Pelita dan mengakui dosanya.

Sekali lagi, ia tidak apa jika dimasukkan penjara. Ia pantas menerimanya, meski di sisi lain, Adhim merasa khawatir dengan keluarganya di Kediri jika mereka sampai tahu apa yang terjadi. Terlebih Abah dan Uminya. Keduanya pasti akan sangat terpukul dan kecewa.

"Bang."

"Hm?" Laki-laki berambut gondrong itu kembali menoleh saat Aldo memanggil.

"Jangan bilang ... lo mau mastiin langsung ya, Pelita itu adik lo kembarannya Zulfa atau bukan?"

Adhim langsung tercengang.

"Atau ... lo suka sama dia, ya?"

Adhim diam saja ketika Aldo mulai menggodanya.

"Bang." Aldo kembali memanggil yang kali ini hanya direspons tatapan datar oleh Adhim. "Ngomong-ngomong soal Pelita, gue mau minta bantuan sama lo," katanya sambil memasang senyum mencurigakan.

"Bantuan apa?" tanya Adhim dengan dahi sedikit mengernyit.

Entah sebab apa, ia tiba-tiba merasa was-was akan bantuan yang dimaksud Aldo. Adhim ingat respons temannya itu saat Aldo melihat foto Zulfa untuk pertama kalinya di ponsel Adhim lalu berkata jika ia ingin menjadi suami adiknya. Apakah mungkin, jika Aldo menyukai Pelita?

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang