Bab 66: Kabar Jakarta

912 90 6
                                    

"Pak Adam?"

Pelita sangat terkejut melihat sosok laki-laki paruh baya yang begitu dikenalnya berdiri di depan kampusnya selesainya perempuan itu mengikuti kelas terakhirnya di gedung fakultasnya, Fakultas Ilmu Hukum sore ini. Ia mengambil cuti mulai besok.

Jam di pergelangan tangan Pelita menunjukkan pukul 16.00 WIB.

Sama seperti Pelita, laki-laki setengah baya yang dipanggil Pelita dengan sebutan Pak Adam itu tidak kalah terkejutnya dengan Pelita, mendapati putri bungsu bosnya terlihat di hadapannya dengan perut besar. Nonanya itu tidak sedang hamil bukan?

Melihat tatapan kaget Pak Adam yang tertuju ke arah perutnya, Pelita langsung merangkul perut besarnya itu posesif.

"Pak Adam sedang apa di sini?" tanyanya pada laki-laki paruh baya yang menjadi orang kepercayaan papanya itu.

Pak Adam langsung memusatkan atensi lagi kepadanya. "Non Pelita, ada yang mau saya katakan, Non," jawab laki-laki itu pelan. "Hal ini sangat penting."

Pelita mengerutkan kening kemudian mengajak Pak Adam menyingkir ke tempat yang lebih sepi, masih di area kampus. Pelita akan pulang sendiri tadi, Arina temannya masih ada keperluan lain di kampus sehingga menyuruh Pelita pulang saja lebih dulu.

"Apa yang ingin Pak Adam katakan? Hal ini tentang Papa?"

"Iya, Non." Pak Adam menganggukkan kepala. Laki-laki itu sempat memperhatikan perut buncit Pelita lagi sebelum kembali menatap Pelita dan mengangguk.

Pelita langsung menghela napas.

"Tuan Herman, Non. Papa Non Pelita kondisi kesehatannya sekarang ini semakin memburuk. Beliau sangat ingin bertemu dengan Non Pelita dan Aden Leon," tutur Pak Adam serius.

Pelita yang mendengarkan hanya bergeming di tempat berdirinya. Ia sebenarnya juga teramat rindu dengan papanya.

"Kalau Non bisa, mari ikut saya pulang sekarang, Non," kata Pak Adam lagi. Laki-laki itu sudah benar-benar fokus menatap Pelita kali ini. "Hanya Non Pelita yang bisa saya temui karena saya tidak tahu di mana keberadaan Den Leon kakaknya Non Pelita."

Pelita merasakan sesak yang kembali mendera organ pernapasannya.

"Apa Papa yang menyuruh Pak Adam ke sini?" jawab Pelita akhirnya dengan tanya, mengalihkan pandangan ke arah lain karena merasakan matanya yang mulai sedikit berkaca-kaca.

Pak Adam menggelengkan kepalanya meski Pelita tidak melihatnya karena menatap ke arah lain. "Tidak, Non. Saya yang datang sendiri."

Pelita menghela napasnya lagi.

"Non ingat terakhir kali saat Seto, sekretaris Papa Non datang ke Bandung waktu itu? Saat dia bertemu Non Pelita dan Den June? Saya yang menyuruhnya."

Pelita tentu saja ingat. Saat itu ia dan June didatangi Seto, laki-laki berumur awal empat puluhan yang menjadi sekretaris Papanya di tempat kerja saat Pelita dan June baru saja keluar dari sebuah kafe, setelah Pelita merampungkan meetingnya dengan Cecilia perihal naskah novelnya di kafe itu. Jauh beberapa bulan yang lalu. Bahkan sebelum Pelita dan Adhim bertemu.

"Saat itu kondisi Bapak sudah semakin buruk. Beliau berkata sangat rindu dengan Non Pelita. Beliau ingin Non kembali ke Jakarta."

Pelita tidak menyahut lagi seperti sebelumnya.

"Non Pelita," panggil Pak Adam halus. "Saya tahu Non Pelita sangat menyayangi Bapak. Tuan Herman pun sama, Non. Beliau juga sangat menyayangi Non Pelita dan Den Leon. Saya paham jika Non terluka karena apa yang Bapak lakukan sebelum Den Leon pergi dan Non Pelita memilih tinggal di sini. Tapi Non, Non Pelita harus bertemu Bapak kali ini," tutur Pak Adam lagi. "Beberapa waktu yang lalu Bapak mengalami stroke, Non Pelita."

Dunia PelitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang