"Ah, jangan ngaco! Mantan asistenku tinggal di sana lama, kok. Hampir sepuluh tahun! Dia yang punya rumah itu. Makanya dia sewakan berikut perabot rumah. Tidak ada hal aneh-aneh"
Kem melirik Ara yang kini tertidur pulas di tempat tidur. Lalu dia bergerak ke luar kamar, duduk di sofa, lanjut memperhatikan matahari tenggelam dari balik jendela kaca. Cahaya lampu minyak tampak berpendar-pendar di atas meja.
"Tadi aku lihat, ada kelompok orang kayak mau pentas seni gitu lho. Tapi tahu-tahu pada nyeret-nyeret mayat. Lokasinya deket sini. Di seberang rumah kalau dari bagian belakang dapur. Tadi Ara juga lihat, pas duduk dekat jendela dapur itu, Jihan. Ada kali cuma 50 meter dari kita..."
"Rumahnya warna apaan?"
"Warna hijau!"
"Nanti aku telpon si Ayun dulu. Mau tanya yang jelas soal rumah tetangganya. Kamu tenang dulu"
"Ok"
Kem meletakkan ponselnya, lalu menutup tirai kaca. Mencoba setenang mungkin. Tetapi tiba-tiba, dari kaca dia melihat 7 sosok tertatih-tatih melangkah menuju rumahnya. Rambut mereka panjang berkibar, diterpa angin yang tampak berhembus kencang.
Seketika Kem gemetar. Dia cepat meraih ponsel, dan berusaha menghubungi nomor Ayun, pemilik rumah tersebut.
"Tujuh orang, Mbak? Nenek-nenek, bukan?"
Kem kembali mengintip dari tirai kaca, jantungnya berdetak cepat.
Sebelum memutuskan pindah ke Bogor, Kem sudah survei. Dia menemui Ayun dan suaminya di daerah Cibogo. Memasuki gang kecil turun naik bukit, lalu melihat perkampungan yang masih tampak jarang penduduk. Ada beberapa rumah besar di sana, tapi rumah Ayun memang terlihat baru dibangun.
"Ini tanah luas milik pengusaha Jakarta. Konon mau dibangun untuk tempat pelatihan satpam, atau apa itu, untuk menjaga perusahaan-perusahaannya. Nah, cuma wilayah perkampungan kita ini yang tak lebih dari 1 hektar, belum beliau beli" kata Ayun, sambil menunjuk tanah luas kehijauan berbukit itu.
"Kenapa tidak dibelinya?"
"Entahlah. Padahal almarhum Abah berharap banget lahan kita juga dibeli. Biar bisa pindah ke Cibinong, ngumpul sama anak cucunya yang duluan pindah ke sana. Tapi sampai akhir hayatnya, tanah ini tak pernah dibeli pengusaha itu"
"Kenapa?"
"Konon katanya pengusaha itu dimimpi'in, kalau sampai beli tanah Kampung Salaka, usahanya bangkrut"
"Ah, percaya gitu sama mimpi?"
"Begitulah, Mbak. Ada saja yang begitu. Tapi kata Abah, memang Aki dulu juga nggak bolehin kita jual tanah. Katanya pamali"
"Aki?"
"Kakek saya, Mbak"
"Oh. Lalu, kamu sendiri nggak niat jual tanah dan rumahmu Yun?"
Ayun menggeleng sedih.
"Nggak Mbak. Takut kualat. Soalnya ini tanah almarhum Abah yang saya tempati. Saya dan suami membangun rumah baru, setelah gubuk Abah roboh. Makanya rumah kita tampak lebih baru dari rumah tetangga lain. Karena ingin pindah ke Jakarta, kami sempat coba mau jual rumah ini. Tapi, saya malah keguguran. Tiap mau jual rumah ini, saya keguguran. Sampai dua kali..."
"Innalilahi..."
Kem cepat merangkul Ayun. Wanita itu saat masih gadis, sempat lama menjadi asisten Jihan. Dari saat Jihan masih main sinetron dan belum terjun ke dunia fashion. Hingga akhirnya, Ayun menikah dengan Engkus sopirnya, dan memilih kembali ke Bogor. Tetapi hubungan Ayun dan mantan bosnya tetap terjalin baik. Bahkan Ayun dan Engkus sering berkunjung ke rumah Jihan di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...