Dia menantu keluarga pemilik rumah sakit itu. Anaknya juga dirawat di sana. Dia bebas masuk rumah sakit tersebut, tetapi tidak boleh menginjak lantai 3, dimana pada salah satu ruangannya ada bocah kecil lelaki yang mungkin sangat merindukannya.
"Mohon maaf, Ibu Kem..." kata Dokter yang didampingi perawat serta dikawal satpam tersebut.
Kem menggeleng-gelengkan kepalanya. Mana mungkin seorang tenaga medis kehilangan hati nurani, demi tetap bisa bekerja di rumah sakit besar tersebut? Ini sudah kesekian kalinya Kem ditolak!
"Saya, ibunya. Saya berhak untuk melihat kondisi anak saya!" suara Kem terdengar bergetar, tak kuasa menahan ledakan emosi, sebelum dia berbalik pergi dengan berjuta luka hati.
Inilah rumah sakit, yang didirikan mertuanya, dan resmi beroperasi sekitar 2 tahun lalu. Terletak di bilangan Jakarta Selatan, kini rumah sakit tersebut menjadi salah satu rumah sakit besar. Dulu, rencananya rumah sakit itu diberi nama Rumah Sakit Keluarga. Tetapi kemudian, Arsa minta nama itu diganti menjadi Rumah Sakit Cahaya Mentari.
Cahaya, adalah nama janin dalam perut Kem yang tak sempat lahir. Mati dalam kandungan saat usia jelang 7 bulan. Dialah anak pertama sebelum Ara. Arsa memberikan nama almarhumah anaknya itu, Cahaya Kesuma.
"Lalu nama Mentari?"
Arsa saat itu hanya menatap Kem sesaat, lalu membalikkan tubuhnya menghadap jendela.
"Aku suka nama Mentari. Cocok jika disanding dengan nama Cahaya. Itu nama yang indah..."
Kem hanya mengangguk setuju. Kesedihan kehilangan bakal calon anak pertamanya dulu, betul-betul menghantam jiwanya. Bersyukur dia cepat diberikan anak lagi, diberi kemudahan untuk mengandung lagi. Sehingga secara perlahan, dia bisa sedikit melupakan kepedihan kehilangan Cahaya.
"Cahaya Mentari? Kenapa tidak sekalian saja nama rumah sakit itu jadi Jihan Mentari?" kata Jihan saat itu, ketika Kem bercerita tentang nama rumah sakit yang didirikan mertuanya.
"Entahlah, Arsa merasa nama Mentari itu indah, jadi cocok digabung dengan nama anak kami, Cahaya. Aku pikir itu ada benarnya"
"Oh ya, Arsa bilang begitu?"
Kem mengangguk,"Aku juga suka nama itu. Ah, andai Cahaya bisa hidup, jadi kakaknya Ara... pasti dia cantik banget"
"Cantik pasti. Nama yang ujungnya Mentari, pasti cantik-cantik dan baik. Seperti aku kan, Kem?"
Jihan mengedip-ngedipkan matanya, membuat Kem jadi tertawa lepas.
Kini, tak ada lagi Jihan yang bisa membuat Kem tertawa. Gadis itu masih koma. Entah sampai kapan matanya dapat kembali terbuka, dan senyumnya kembali ceria. Kem sangat merindukannya. Seperti dia merindukan anaknya Ara.
Tak ada yang dapat dia lakukan, selain kembali ke rumah. Duduk diam di meja makan, meski Surti telah menyajikan banyak makanan. Dia tak sanggup menelan. Kembali ke rumah itu saja rasa semakin membuatnya tersayat, tapi Else memaksanya untuk tetap bertahan.
"Tapi kau harus tetap kembali ke rumah kalian. Jangan tinggalkan rumah itu. Jika kau pergi dari situ, maka fitnahan Arsa terhadapmu akan dibenarkan banyak orang. Sekarang, mulai persiapkan dirimu untuk kembali bicara di depan media. Kita butuh serangan balik untuk membungkam tuduhan Arsa" pesan Else.
Apa dia bisa bicara di depan banyak kamera? Sementara mengangkat telpon dari banyak teman dan koleganya saja dia tak mampu?
Handoko, Produser film yang mengangkat karya-karya novelnya ke layar lebar, serta pihak penerbit novelnya, sampai memohon kepadanya untuk bisa bertemu. Tetapi Kem tak menjawab. Dia merasa damai jika sendiri, tanpa harus bercerita banyak kepada siapapun. Kecuali Anggada, pengacaranya dan Else, istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...