Hujan turun deras. Kem terbangun, lalu bergegas ke luar kamar. Dia menemukan Ara sedang main mobil-mobilan di lantai ruang tamu.
"Ara udah bangun duluan?"
"Iya, tadi Ala main tendili"
Kem tersenyum, lalu menyibak tirai kaca jendela. Sejauh pemandangan, hanya ada air deras yang mengucur dari langit. Dia lalu cepat ke dapur. Tangannya gemetar membuka jendela. Trauma kejadian kemarin. Tetapi saat jendela terbuka, meski kucuran air hujan dari atap seperti air terjun, dia bisa melihat bahwa di seberang sana memang betul cuma barisan pepohonan.
"Aduh, kacau pikiranku" keluhnya.
Lalu dia cepat ke kamar mandi. Berusaha untuk menimba air sumur, mengisi bak, untuk mandi dan memasak air. Di dapur, Ayun sudah menyiapkan sembako, juga peralatan masak. Meski bahan bakarnya cuma minyak tanah.
"Kalau sembako dan minyak habis, nanti bisa turun ke bawah bukit. Di sana ada warung. Minta antar saja belanjaan sama anaknya pemilik warung. Namanya Dudung" pesan Ayun dulu.
Kem tak merasa hidup yang dipilihnya itu sulit. Sejak kecil, dia terbiasa hidup susah. Kedua orangtuanya bercerai, lalu memilih hidup masing-masing. Dia bahkan tak tahu mereka dimana. Hidup Kem berpindah-pindah, dari satu sanak keluarga, ke sanak keluarga lain yang bermurah hati menampungnya.
Dari lahir di Pandeglang, Banten... dia dibawa pamannya ke Jawa Tengah, lanjut ikut bibinya ke Sumatera, lalu terakhir ke Jakarta ikut Uwaknya. Berkeliling menikmati kerasnya ujian hidup. Bertahan karena belas kasihan orang.
Sampai akhirnya, dia bisa mandiri saat SMP, lepas dari Uwaknya yang selalu mengeluh biaya sekolahnya. Beruntung Kem bisa diterima masuk ke Jovanca School, yang memberikannya beasiswa gratis. Dia bisa tinggal gratis pula di asrama sekolah itu. Dengan syarat, Kem bersedia membantu staf perpustakaan mengurus dan merapikan ruangan tersebut.
Inilah awal Kem jadi penulis, karena dia gemar membaca. Sampai SMA, Kem tetap di sekolah itu yang memang juga punya sekolah SMP dan SMA. Kem banyak meraih prestasi. Memenangkan banyak lomba penulisan hingga tingkat nasional.
"Kamu anak yang cerdas, semoga Tuhan memberimu jalan kesuksesan yang bermula dari sekolah ini" kata Bu Magdalena, pendiri Jovanca School.
Jovanca School adalah sekolah khusus putri, bagi para penganut katolik. Kem yang sejak kecil hidup nomaden, sepenuhnya tidak memiliki dasar agama yang kuat. Di keluarga bibinya dia diajari mengaji, tapi pindah ke uwaknya dia dibawa ke gereja.
Kedua orangtuanya sendiri berasal dari agama yang berbeda: ibunya islam, bapaknya kristen protestan. Jadi bagi Kem, masuk Jovanca School adalah masa proses dia mengenal lingkup agama berikutnya. Dia tak mempermasalahkan hal itu, asal tetap bisa melanjutkan pendidikan, mengurai prestasi.
Kecerdasan Kem, membuat dia bisa meraih beasiswa masuk kampus swasta, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, di Universitas Harapan Bumi. Demi menyambung hidup, Kem tetap memilih tinggal bekerja menjadi Jovanca School. Kali ini dia tak lagi membantu staf perpustakaan, tapi Kem diangkat menjadi staf perpustakaan di tempat itu. Sampai Kem meraih sarjana strata satu.
Selanjutnya Kem diangkat menjadi guru Bahasa Indonesia di Jovanca School, membuatnya bisa lanjut program meraih gelar master, karena kembali bisa meraih beasiswa S2 di universitas yang sama. Pada masa itu, karya-karya novel Kem mulai diterbitkan, meski belum ada yang bestseller apalagi difilmkan. Tetapi dia mulai memiliki banyak penggemar, khususnya di Instagram, karena foto-foto menawan dirinya yang ditampilkan pada aplikasi tersebut.
Mulai ramai dikenal sebagai Selebgram ibukota, banyak endorse dan rajin colab dengan para youtuber, membuat dia jauh lebih dikenal sebagai si cantik Kemuning, ketimbang Kem si penulis novel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...