#18 Hilang

1.7K 288 19
                                    

KM 1O, Jakarta-Ciawi

Pukul 9 malam. Mereka hanya mampir di Rest Area, untuk sekedar makan malam. Tetapi Vina, tiba-tiba menghilang.

Kem mulai panik. Apalagi setelah ditunggu hampir satu jam, Vina tidak kunjung terlihat.

"Tadi pamitnya mau ke toilet sebentar" keluh Kem, sambil meminta bantuan sopir taksi untuk mencari, karena Naga tampak kelelahan berkeliling.

Kem menyuruhnya untuk cepat makan, agar tidak sakit. Naga terlihat sangat tertekan, dengan menghilangnya Vina. Terlebih, Nina Wulan selalu bertanya tentang ibunya. Dia mulai makan dengan pelan, seakan sulit menelan.

"Pokoknya, Pak... coba sisiri sekitar wilayah restoran ini saja. Karena di toilet tidak ada. Coba dicari..."

"Jangan dicari" potong Naga, sambil meletakkan sendok di piring. Dia minum setengah gelas air, lalu bangkit dari meja restoran itu, dan menggendong Nina Wulan, menuju parkiran taksi.

Kem, cepat menyerahkan Ara pada sopir, lalu membayar makan malam mereka.

"Itu tadi istrinya, Bu?" tanya Manto, sopir taksi yang siap mengantar sampai Cibogo. Kem berjanji membayarnya mahal untuk itu.

"Ya, begitulah Pak Manto. Mereka lagi ada masalah keluarga. Istrinya kabur jadi TKW, malah nikah sama orang lain"

"Astaghfirullah..."

"Makanya, si Naga sikapnya begitu. Mungkin kesal menghadapi ulah ibu dari anaknya!"

"Ya, saya juga pasti bakal kayak gitu juga. Pasti kesel. Pasti jadi nggak mau peduli. Istri durjana itu, Bu! Sudah hilang harga diri..."

Kem mengangguk, lalu masuk ke dalam taksi, dan menyambut Ara dari Pak Manto. Naga, meletakkan Nina di bangku sebelah Kem dan Ara. Menutup pintu mobil, dan bergerak masuk dari pintu sebelah sopir.

Taksi kembali berjalan. Kem melirik Nina, yang tampak diam. Sepertinya, tadi Naga mengatakan beberapa hal tentang ibunya. Membuat anak itu tak lagi menanyakan ibunya. Dia duduk diam. Kem jadi tak tega melihatnya. Teringat hidupnya dulu, ditinggalkan ibunya begitu saja, dititip dari satu saudara ke saudara lain. Sampai dia terlatih untuk tangguh, mengeras menghadapi takdir yang begitu kejam untuk anak sekecil itu.

Kem, lalu meletakkan Ara di sebelah Nina. Anaknya usia 4 tahun, Nina baru jelang 5 tahun. Tak lama kemudian, mereka sudah bisa saling tersenyum, saling bisa bercanda dengan bahasa kanak-kanak. Kem, jadi merasa sedikit lega. Pikirannya juga mulai jernih.

Padahal, tadi dia begitu takut, hingga ingin secepatnya kabur. Media bukan hanya memberitakan tentang kematian Papi, tapi justru juga tentang kerusakan Bosta Rocca, dan kematian Ayun dan Engkus. Dari Helen, Kem kembali mengorek banyak keterangan.

"Jangan ke Milan, Bu. Ibu bisa ditangkap di bandara. Atau Pak Arsa bisa menemukan ibu dan Ara di sana. Bu, Pak Arsa saya yakin dalang dari semua ini. Dia yang menyebabkan Bapak tiba-tiba mati...."

"Ya, Tuhan!"

"Juga membunuh Ayun dan Engkus!"

"Membunuh Ayun... dan Engkus? Untuk apa?"

"Biar Ibu Kem bisa jadi tersangka! Ibu diberitakan seolah-olah cemburu dengan si Jihan, merusak butiknya, lalu membunuh kedua orang suruhannya. Bapak memang menyuruh orang merusak Bosta Rocca. Juga menangkap Ayun dan Engkus. Tapi tidak membunuh! Keduanya dibawa Arsa, nggak tau kemana..."

"Untuk apa dia menuduh saya?"

"Warisan! Karena Bapak telah mengubah ahli warisnya. Bukan Pak Arsa yang dapat banyak. Tapi Ibu Kem dan Ara"

"Hah?"

"Inilah yang membuat si Arsa itu ingin menghabisi Ibu. Baik dengan fitnah, maupun dengan tangannya sendiri"

"Tuhan... tolong kami..."

"Ibu, pokoknya Ibu tenang saja. Ibu cari tempat sembunyi yang jauh dari Jakarta. Jauh dari pantauan siapapun"

"Saya mungkin akan kembali ke Bogor"

"Ada yang tahu tempat itu?"

"Itu tempat Ayun dan Engkus"

"Oh, Tuhan. Jangan, Bu. Jihan pasti tahu tempat itu"

"Tidak. Dia tidak tahu. Tak pernah ke sana. Hanya tahu alamatnya di Cibogo. Tapi tempat Ayun itu, jauh di pelosok dekat hutan"

"Ibu tak ada tempat lain?"

Kem menghela nafas. Kondisi makin sulit, dia bingung ingin berlindung kemana.

"Tempat itu aman, Helen. Kamu sendiri, apa tidak bahaya juga, mengingat kamu sekretaris pribadi Papi?"

Helen terdiam sesaat, lalu terdengar isak tangisnya.

"Saya 7 tahun, kerja sama Bapak. Tapi tak bisa melihat jenazah beliau untuk yang terakhir kali. Situasi tidak aman bagi saya, Bu. Saya saat ini bersembunyi di rumah teman. Besok, saya rencana diantar teman, untuk bersembunyi di Jogja dulu. Bu, saya akan hubungi ibu dengan nomor lain. Tolong ganti nomor segera, Bu"

"Saya ada nomor khusus yang lain. Nanti saya akan hubungi kamu, Helen"

Kacau sudah semuanya. Kem merasa makin ingin secepatnya kembali ke Cibogo. Kampung Salaka memang seram, tapi tinggal di Jakarta artinya nekat menantang maut.

Kini, si Vina, yang susah payah turut coba diselamatkan Surti, malah membuat ulah.

"Surti, cepat tinggalkan rumah itu. Ganti nomor telpon, dan hubungi nomor khusus ibu" perintah Kem lewat telpon, sambil memperhatikan Ara dan Nina yang makin akur.

"Memang ada apa, Bu?"

"Si Vina sepertinya nekat ingin hadir dalam upacara pemakaman Papi. Mungkin dia ingin sesumbar diakui sebagai selingkuhan. Kamu bisa ketahuan Arsa telah berbohong"

"Waduh, itu orang... ibu-ibu stres, nyusahin aja..."

"Cepat pergi dari situ Surti, ganti nomor. Sembunyi dulu di hotel. Ambil ATM khusus belanja dapur di meja rias ibu. Ambil perhiasan ibu, di kotak besi dalam lemari, kodenya tanggal dan bulan kelahiran Ara. Ambil semua perhiasan
saya di sana, bawa untuk kamu. Anggap itu pesangon. Cepat balik ke kampung. Saya akan beri kabar nanti..."

Kem mematikan ponselnya. Sementara ponsel satu lagi, sudah dimatikannya sejak kabur dari rumah.

Entah mengapa, dia yakin sekali, jika kembali ke Cibogo, adalah langkah yang tepat dan aman. Atau juga karena dia sudah sulit menentukan pilihan lain.

"Tolong telpon Uminya Dudung, Naga. Kasih tahu, kalau saya akan kembali ke rumah sewa milik Ayun..."

Naga menoleh dari kursi depan,"Baik, Mbak!"

(Bersambung)

Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang