#25 Setahun

1.6K 311 21
                                    

Rasanya, seperti sudah begitu lama. Namun senja di Gunung Salak, seakan tiada pernah sirna. Ara masih tertidur pulas, Kem masih duduk berhadapan dengan Nawang Sari, di meja yang ada dua cangkir teh, satu teko dan sepinggan kentang rebus.

"Ada yang tidak beres" bisik hati Kem. Tetapi dia, mencoba untuk bersikap wajar.

Nawang Sari, kembali meneguk teh di cangkir yang sama untuk kesekian kalinya. Tapi teh dalam cangkir, isinya seakan tidak berubah.

"Nenek, kenapa tidak menikah?" tanya Kem.

Nawang Sari tertawa,"Kami adalah Kaum Bersayap, kesucian adalah yang utama jika ingin menembus langit"

"Surga?"

"Ah, manusia bumi. Mereka hanya berpikir tentang surga. Tak pernah belajar serius mengenai planet lain, selain bumi"

"Berarti, Nawang Wulan dan Nawang Mentari tak dapat kembali ke... ke planet kalian?"

"Betul"

"Lalu, mengapa reinkarnasi mereka dinanti?"

"Setiap mahluk yang bersalah, wajib mendapat hukuman, agar tidak mengulangi perbuatan"

"Bukankah, kalian pernah menghukum keduanya? Bahkan Mentari kehilangan kepak sayap untuk terbang?"

"Hukumannya bukan itu. Itu cuma peringatan"

"Itu bukan hukuman?"

"Hukumannya lebih pedih"

"Apa itu?"

"Mereka berdua harus dikuliti hidup-hidup. Raganya ditinggal, kulitnya dibawa terbang"

"Iiih... ngeri. Bisa nggak Nek, tidak harus begitu kejam?"

"Itu peraturan kami. Dan kami juga tak bisa kembali ke planet kami, jika tidak membawa kulit mereka"

"Buat apaan?"

Nawang Sari menatap Kemuning, lalu mengangkat bahunya.

"Saya rasa, kamu tidak memaknai tentang kalimat simbolik"

Kem terdiam, merasa bersalah. Dia lalu tersenyum, setelah menyadari kekeliruannya.

"Saya cuma tidak paham dengan kulit yang dibawa, dan raga yang ditinggal. Apa maknanya?"

Nawang Sari tersenyum,"Kau memang tidak perlu memahaminya. Itu hanya urusan kaum bersayap. Kami tidak berbagi hal penting kepada manusia yang punya tabiat sulit dipercaya"

Seketika hening. Kem tiba-tiba merasa ada jurang di antara dirinya dan Nawang Sari. Nenek itu, seakan telah memberi tembok batas yang tinggi. Dia memang bersedia menolong Kemuning dan anaknya, tetapi bukan berarti, mereka akan menjadi teman atau saudara. Justru, Kem merasa ada niat lain dari Nenek itu.

"Apa kehadiran saya dan Ara di sini, semacam umpan?"

Nawang Sari mengernyitkan dahi,"Untuk?"

"Untuk siapapun yang menginginkan Nawang Wulan dan Nawang Mentari kembali di sini"

Keduanya kembali berpandangan, lekat. Lalu masing-masing berusaha untuk saling tersenyum tipis.

Kem lalu tiba-tiba bangkit, dia bergerak ke balai bambu, mengambil tas dan menggendong Ara yang masih tertidur. Lalu menoleh ke arah Nawang Sari.

"Anda mengatakan  suatu hal yang justru menyadarkan saya. Terima kasih niat baik anda untuk sempat menampung kami di sini"

Tak ada suara dari Nawang Sari. Dia juga tidak melarang, ketika Kem melangkah pergi sambil menggendong anaknya.

Kem bergegas menjauh. Dia berusaha untuk terus melangkah, menjauh gubuk milik nenek-nenek itu. Meski sepanjang jalan, dia merasakan suasana yang tidak biasa. Semak belukar tampak begitu tinggi, juga jalan setapak seperti sudah tak ada lagi.

"Mengapa lingkungan berubah secepat ini?" pikirnya, bergidik ngeri.

Kem melihat dari jauh, rumah Ayun dan rumah Pak Nagara masih terlihat di ujung jalan menurun menuju desa di kaki bukit. Dia mulai merasa lega. Tetapi tiba-tiba, di depannya, melintas banyak warga mengenakan kain hijau dan berselendang putih. Mereka menyeret-nyeret sesuatu yang tampak seperti jenazah beberapa manusia.

"Suku Karembong Bodas..." bathin Kem, dengan tubuh bergetar.

Mereka berjumlah puluhan orang, melangkah kompak berbarengan, dengan tatapan lurus ke depan. Meski beberapa dari mereka menyeret-nyeret orang mati.

Kem makin ketakutan, tapi dia tak berani bersuara. Dibiarkannya rombongan itu lewat, baru dia kembali bergegas melangkah sejauhnya.

"Akhirnya kalian kembali" kata Pak Nagara, yang tiba-tiba ke luar dari rumahnya, ketika Kem tampak kesulitan membuka pintu rumah Ayun.

"Pak, tolong. Saya mau masuk rumah" teriak Kem.

"Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini"

"Pergi?"

Pak Nagara segera mendekat, lalu menunjuk pintu rumah Ayun yang sudah dipaku.

"Pulanglah, ke tempat asalmu. Jangan menghuni sebuah rumah kosong"

"Pak, saya cuma ingin tinggal sebentar. Dimana Naga? Bisakah dia mengantarkan saya pergi ke suatu tempat?"

"Naga sudah meninggal"

"Apa? Kapan?"

"Setahun lalu"

"Setahun? Ah, tidak mungkin! Baru saja siang tadi saya masuk ke rumah Nenek Bidadari..."

"Mbak Kem, kalian sudah menghilang setahun lebih. Kami sudah berusaha membujuk Nenek Bidadari untuk mengembalikan kalian. Tapi mereka tidak pernah bersedia. Saat kalian berada di rumah itu, banyak hal yang telah terjadi. Mulai dari tewasnya Naga oleh orang suruhan suami anda. Lalu Nina akhirnya dijemput Ibunya, Vina. Dibawa pergi jauh"

"Hah? Arsa membunuh Naga?"

"Menurut Vina, banyak yang dia bunuh. Termasuk Helen, temannya Vina, yang mantan sekretaris mertua anda Mbak Kem"

"He-helen mati?"

"Saya tahu cerita ini dari Vina. Katanya mereka coba menyelamatkanmu, tapi malah jadi korban. Suami anda wara-wiri ke tempat ini, Mbak Kem. Dia mengacaukan banyak hal. Saya dendam padanya, tetapi saya tak bisa menuntutnya telah membunuh Naga..."

"Tidak, saya tidak percaya ini. Ini tidak masuk akal"

(Bersambung)



Suku yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang