Kabut pagi masih pekat. Namun Kem memberanikan diri untuk melangkah ke rumah tetangga yang masih tertutup rapat. Dia mengetuk berulang, juga mengucap salam. Tetapi tak ada sahutan.
Kem merapatkan jaket tebal Ara, dan merapikan topinya. Cuaca dingin masih terasa menusuk tulang, tapi Kem masih berharap untuk segera kembali ke Jakarta.
Dan setelah ban mobilnya kempes entah bagaimana ceritanya, ponselnya tiba-tiba mati, lanjut powerbank juga mendadak tak berfungsi. Semua seperti direncanakan. Entah oleh siapa. Mungkin sesuatu, yang berharap dia tidak bisa pergi secepatnya dari sini. Firasatnya mengatakan itu, meski logikanya memikirkan hal lain: mungkin, kebetulan sial.
"Saha?"
Enam bocah lelaki itu tampak berebutan menyembul dari pintu, setelah pintu hijau besar itu berderit dibuka.
Kem menghela nafas. Mungkin suara tawa dan kaki bocah-bocah ini yang membuatnya ketakutan malam kemarin, pikirnya.
"Saya tetangga baru. Pak Nagara ada?" tanya Kem, ramah.
Keenam anak itu saling pandang, lalu menggeleng.
"Ka hutan, jeung Umi. Cari kayu"
"Oh, begitu. Kapan pulangnya kira-kira?"
"Duka" mereka kembali menggeleng.
"Kalian tidak sekolah?"
Mereka juga kembali menggeleng.
"Ada bengkel mobil di sini?"
"Aya, di handap, lembur"
Kem mengikuti arah telunjuk para bocah yang mengarah pada pemukiman penduduk di kampung bawah yang masih di selimuti kabut.
"Terima kasih" kata Kem, sebelum pamit meninggalkan rumah itu.
Kem berjalan perlahan melintasi rumput basah, dia mencoba menyibak kabut tebal untuk memberanikan diri menuruni jalanan berbukit. Entah bagaimana Pak Nagara dan istrinya nekat ke hutan dalam kondisi kabut tebal, sementara dia yang melewati jalanan kampung saja setengah mati berusaha melewatinya.
"Mami, tatut" bisik Ara yang memeluk erat Kem.
Kem tak bicara, dia hanya memeluk anaknya dengan erat. Rasa sesal yang besar menghinggapi pikirannya. Menyesali kebodohannya, yang sok-sokan riset sendirian di wilayah jauh, tanpa didampingi kawan ataupun pengasuh anak.
"Mami, tita, jimana?"
Kali ini, Kem menghentikan langkahnya. Dia mulai putus asa. Merasa ada yang aneh. Sekian lama melangkah, dia merasa tak kunjung mencapai bawah bukit. Kabut seakan makin tebal, dan seperti menjebaknya di tengah pandangan yang pendek dan terbatas.
"Ya Allah, Nak? Kita dimana?"
Perlahan, terdengar isak tangis Ara. Kem bergegas meraba tasnya, meraih botol susu hangat. Ara minum dengan lahap, lalu Kem kembali berusaha melanjutkan perjalanan. Tetapi tiba-tiba, dia mendengar derap langkah dan suara kuda mendekat.
"Halo, ada orang di seberang sana?!" Kem berteriak, berharap ada warga yang melintas membawa hewan ternak lewat di depannya.
Tak ada sahutan. Tapi, tak lama kemudian, tiba-tiba muncul seekor kuda hitam dengan surai panjang kemerahan, bersama sosok pria berpakaian tradisional putih dan berkain hijau.
"Astaga, Dewa!"
Antara kaget dan lega, saat Kem melihat kemunculan pria itu dari balik kabut. Dewa turun dari kuda, lalu mendekati mereka.
"Ayo, kuantar kau menemui Aki"
Kem mengangguk,"Ya, kebetulan. Aku sedang mencari bengkel mobil. Tapi bukan soal aki. Soal ban!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...