Patih Jemoga tiba-tiba terbangun, dengan gugup dia memberi hormat, kepada semua orang yang ada di ruang tengah itu.
"Aki Tirem?!" tanya Jemoga, seolah tak percaya.
Aki Tirem tersenyum,"Beristirahatlah, Jemoga. Nanti kita bicara."
"Ke-kenapa kau masih hidup?"
"Panjang ceritanya."
"To-tolong ceritakan..."
"Nanti saja, Jemoga!" potong Nawang Sari cepat. "Kau harus cepat pulih. Jika kau masih bicara, darahmu makin banyak ke luar. Makin sulit proses penyembuhan. Sabetan pedang di tubuhmu itu mengandung racun. Kau bisa mati jika tak kunjung pulih hingga esok hari."
"Maksudmu, Jemoga tidak bisa selamat?" tanya Umima.
Nawang Sari menggeleng,"Racun Marabunta, bukan main-main. Tubuhnya harus kuat melawan serangan racun itu dengan cara tidur yang cukup."
"Tapi dia barusan terbangun. Apa... oh, Nawang Sari, kalian bidadari. Apa kalian tidak bisa menyembuhkannya?"
"Bisa, dengan melakukan Tukar Raga. Dia terpaksa melepas raganya, dan ditukar dengan usia anak kecil. Tapi Jemoga nanti akan kehilangan sebagian ingatannya sebagai Patih Jemoga. Dan... dia harus dicarikan orang tua asuh. Kasihan jika tak terurus, karena raganya sudah menjadi bocah."
"Biar aku yang mengurusnya!" teriak Umima. "Jemoga adalah pejabat setia di istana, selain Kesuna. Keluarganya sudah habis terbunuh pada perang saudara kemarin. Aku bersedia nanti untuk menjadi ibu asuhnya."
"Umima..." Jemoga seketika bersujud pada Buyut Agung tersebut, air matanya mengalir.
"Jangan khawatir Durdhuva Jemoga. Aku akan melindungimu meski kau bertukar raga. Kami sangat membutuhkanmu, mengingat cuma nama lengkapmu dan Cahaya yang diketahui Larasati palsu. Ini agak sedikit aneh, mengingat dia lupa nama kami semua. Bahkan dia memanggil Syura si emban setia saja sering salah. Malah dipanggilnya Surti. Ini bisa menjadi langkah kita untuk menyelidiki lebih dalam." kata Umima sedih.
Lalu salah satu Bidadari, Nawang Cenai, membantu Jemoga bangkit, untuk tidur di salah satu kamar.
Pria tua itu mengangguk hormat, lalu melangkah tertatih melewati kamar demi kamar.
"Itu, Nawang Mentari kan?" tanya Patih Jemoga, menunjuk Jihan yang tertidur bersama anaknya.
"Namanya sekarang Jihan Mentari," bisik Cenai.
"Kalau itu, Cahaya dan Salaka kan?" tanya Jemoga lagi, menunjuk dua orang yang tertidur di bale bambu.
"Ya!" sahut Cenai, seraya mengernyitkan dahi dan cepat-cepat menyuruh Jemoga untuk memasuki kamar lain.
Usai Jemoga masuk dan berbaring di kamar yang itu, Cenai segera menutup pintunya. Lalu cepat bergerak menuju kamar Cahaya dan Salaka, serta menendang pintunya.
Vina, terlihat duduk di lantai dengan tubuh gemetaran memandang Cenai yang tampak begitu marah.
"Kenapa kau selalu membuat masalah, tapi selalu berpura-pura sebagai korban, Nawang Wulan? Tidak pernahkah kau berpikir, bahwa kami semua menderita gara-gara kebodohanmu?" bentak Cenai, seraya menarik Vina dan mendorongnya ke luar kamar.
Sebelum kembali menutup pintu, Cenai masih melihat Cahaya dan Salaka tertidur lelap, lalu dia lanjut menyeret Vina yang ketakutan ke ruang tengah.
"Ini dia yang menguping pembicaraan kalian dari tadi!" teriak Cenai.
Semua mata lalu mengarah pada Vina, yang sedang tersungkur di dekat kaki Cenai.
"Sudah kukatakan, dari dulu sumber masalahnya adalah dia, si Nawang Mulan!" gerutu Nawang Sari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suku yang Hilang
Mystery / ThrillerKemuning berusaha fokus menulis cerita untuk novel barunya agar kembali bestseller hingga difilmkan. Dia kemudian tertarik mengungkap fakta sejarah, tentang Suku Selendang Putih Gunung Salak, Bogor. Konon, suku ini sering menunjukkan jejak di sepan...